Aku ingin mengambil sepotong senja
dan kuberikan untukmu
Aku terdiam, mengajak batu bicara
Engkaukah yang telah menyembunyikan suaraku?
Aku berpaling padamu lagi, kau tersenyum
Adakah kata-kata indah yang dapat kuberikan padamu?
Aku menatap sepotong senja yang tak suka menunggu
kawanan camar, nyiur hijau, deru ombak, langit biru.
Maaf sayang, aku lupa menatap waktu.
Aku terlalu sibuk menirukan gema suaraku. Entah apa itu?
Lama-lama pikiranku menjadi semakin gila
Senja yang tadinya penuh merah di pucuk cakrawala
tiba-tiba bolong begitu saja
Batu yang tadi terdiam saat ku ajak bicara
malah menyeringai menantang mata
Dan kau beranjak seakan mengikuti
kemana senja pergi
Langit menertawakanku, brengsek! Kataku.
Senja telah hilang sebelum aku menyadari engkau
telah raib ditelan tikungan.
Adakah dinding yang menghalangiku memelukmu,
sehingga tubuh hanya terpaku.
Adakah cahaya di bola matamu,
yang memerahkan mataku, merindukan ingatanku
Rindu tinggal rindu saat kau datang padaku
hanya untuk melihatku membisu.
Aku ingin mengambil seiris bulan
sebelum waktu tercebur ke dalam hanyut ingatan
sebelum bintang-bintang berguguran
di ranum pipimu, di cedera lukamu.
Sementara langit hanya hitam, setelah senja pergi
menemui dunia yang kita sendiri tak ketahui
Lalu rinduku bias oleh kilau cahaya bulan di sudut lautan
Saat pelukanmu menyadarkan lamunan yang memakuku.
Aku seakan menemukan suaraku kembali, mengatakan
sebuah frasa yang aku tak tahu apakah kau masih sudi mendengarkan.
Frasa yang klise, frasa yang cuma klausa
Frasa yang mungkin cuma paradoks cinta yang tak berkesudahan.
Kau tahu kan?
Ini adalah awal, dari sebuah akhir.
Namun ku tak tahu mana awalku mana akhirku
Atau akhirku hanya permulaanku?
Ah, cintaku. Rinduku kepadamu hanya membuatku semakin membenci waktu.
Aku ingin pulang saja, senja, matamu sudah minus delapan sepertinya.
***
Ups! Rupanya bulan mengintip pesan yang terselip
di sudut akhir puisiku,
Aku ingin melihat bulan cemburu
melihat engkau bersinar di hatiku.
(8-9-2011)