Buku,alat tulis,siap. Pakaian rapi. Mandi sudah. Telepon genggam? Biarlah tidur di rumah. Capek. Malam ini seperti biasa aku berangkat kerja. Sebenarnya cuma kerja sambilan sih. Bisa dibilang kurang kerjaan. Hmmm….
Jadi wartawan, kalau ini bisa dibilang wartawan. Yah… mau gimana lagi? Wartawan amatiran. Kerjanya sehari-hari cuma dikerjain kerjaan. Mengisi waktu luang tapi perut tak pernah kenyang. Ah, kalau dipikir-pikir ngapain juga aku jadi wartawan. Padahal aku sama sekali nggak pernah berpikir untuk jadi wartawan. Tapi justru itu yang membuatku sering kepikiran.
Sudah sejam. Ah, lama juga aku dandan. Tapi kok nggak cakep-cakep juga ya? Sering aku ingin menggampar cermin yang berdiri tegak di depanku. Cermin yang seakan selalu mengejekku saat aku berdiri di hadapannya. Cermin yang sering menipuku, membodohiku, dan kadang-kadang juga membuka semua aibku. Lalu, tanpa kusadar, cermin itu telah membius mataku sampai aku tak dapat berdaya lagi di hadapannya.
Baiklah, semua oke. Huh, di luar hujan. Aku nekat pergi ke rumahmu. Rupanya tak begitu dekat. Namun juga tak terlalu jauh dari hatiku. Rumahmu besar juga. Lebih mirip istana daripada sebuah rumah. Karena rumahmu terlalu indah kalau hanya sekedar disebut sebuah rumah. Terlalu cantik bila harus dilukiskan dengan kata-kata. Kau memang suka keindahan. Tidak sepertiku. Kamarku hampir setiap hari tak pernah bisa lepas dari kata jorok, berantakan, kotor, dan sebangsanya.
Sesampainya di depan pintu, aku jadi ragu.
Akhirnya kuputuskan untuk mengetuk pintu. Tapi belum sempat jari-jemariku mengetuk pintu, aku mendengar suara yang sangat kukenal dari sampingku. Aku menoleh. Ternyata kau!
“Hai,tumben mampir. Darimana kau tahu rumahku? Wah, kehujanan ya? Kedinginan? Bajumu basah. Ayo masuk. Nggak usah sungkan, anggap saja rumah sendiri. Aku ke belakang dulu. Kubawakan handuk dan segelas teh hangat untukmu.” katamu bertubi-tubi dengan wajah berseri-seri. Seperti sudah sepuluh tahun tidak pernah bertemu. Senyummu pun turut menghiasi wajahmu. Ah, aku tak mampu melawan senyum manismu. Seandainya saja aku bukan wartawan. Saat itu kumaki diriku sendiri. Kenapa aku tak datang kesini sebagai diriku sendiri?
Pelan-pelan kau buka pintu depan rumahmu. Lalu mempersilahkanku duduk di kursi tamu sementara kau ke belakang seperti yang kau katakan tadi. Ternyata aku salah mengira tentang bagian dalam rumahmu. Rumahmu begitu sederhana. Tak ada barang-barang yang punya nilai jual tinggi di pasaran. Tidak ada gemerlap hiasan lampu yang menyilaukan mataku. Semua serba sederhana. Tapi ini sudah lebih dari cukup untuk dikatakan indah bagiku.
Hanya satu hal yang kurang dari rumah ini….
Keramaian. Ya, hanya itu. Karena rumah ini begitu sepi. Aku berpikir bagaimana kau dapat hidup di rumah seluas ini seorang diri? Aku tak tahu kenapa. Maka dari itu aku ingin menanyakannya kepadamu setelah kau kembali.
Tak lama kemudian kau pun kembali. Lalu aku mengatakan sesuatu kepadamu.
“Maafkan aku, dia tidak disini. Aku hanya seorang wartawan amatiran yang tersesat jauh di hatimu. Karena itu, aku ingin menanyakan beberapa hal kepadamu. Semoga saja suatu saat kalau dia sudah siap, dia akan datang kesini. Bolehkah aku bertanya?”
“Oh,begitu. Baiklah, mau tanya tentang apa?”
“Kau benar-benar sendirian tinggal di rumah ini?”
“Sendirian? Itu relatif. Jawabannya ya dan tidak.”
“Maksudnya?”
“Ya, karena seperti yang kau lihat, aku sendirian tinggal di rumah ini. Tapi juga bisa dibilang, aku tidak sendirian, karena ada sesuatu yang selalu menemani kesendirianku.”
“Sesuatu? Sesuatu apa itu?”
“Kau mau tahu? Sini, akan kutunjukan sesuatu itu padamu.”
Lalu kau raih tanganmu. Ah! Hampir jatuh aku saking gugupnya. Ruangan demi ruangan dilalui. Tidak ada yang istimewa kecuali hamparan foto-fotomu yang memenuhi dinding sampai ke sudut ruangan. Hi…. Aku kok jadi takut melihat foto-foto itu seakan menatapku, mengawasiku, mengintimidasiku, seakan tak memperbolehkanku masuk ruangan-ruangan dalam rumahmu. Foto-foto yang sama sekali tidak kukenal, namun pernah sesekali kulihat dalam mimpiku.
“Hei, tanganmu gemetar. Jangan takut, memang beginilah rumahku,” katamu yang masih menggandeng tanganku.
“Eh, kau sendiri tidak takut?”
“Kenapa mesti takut? Merekalah yang menemani kesendirianku di sini.”
Begitukah? Hal itu adalah ketakutan bagiku. Namun tidak bagimu. Aku benar-benar tidak percaya kau bisa hidup dengan kondisi seperti ini. Aku jadi semakin penasaran dengan perasaanmu yang sebenarnya akan hal ini. Mungkinkah ada sesuatu yang sengaja kau sembunyikan dariku?
“Tapi sebenarnya…. Aku memang kesepian. Tidak ada di antara mereka yang benar-benar dapat menghiburku. Hanya satu yang bisa sekedar melepas rinduku kepada “dia”. Sayang, dia tak di sini. Hanya ada kau. Sini, aku tunjukkan.” Lalu kita lanjut jalan ke kamarmu. Tidak seperti ruangan yang lain, tidak ada foto memenuhi dinding kamarmu. Kemudian kau membuka laci lemari di samping kasur, dan memperlihatkan selembar foto kepadaku.
Hah? Foto itu, wajah yang sering kulihat di depan cermin tempat ku biasa bercermin. Wajahku! Benarkah itu aku? Sesaat aku tidak mempercayai penglihatanku. Lalu aku kucek-kucek mataku dan memastikan kalau itu benar aku. Diriku sebelum memakai seragam wartawan amatiran ini.
Kita terdiam beberapa saat. Mulutku seakan terkunci oleh suatu hal entah apa hal itu. Begitu juga kau. Setelah kukumpulkan keberanianku beberapa saat kemudian aku pun angkat bicara,
“Hmmm….. Ya, aku mengerti, itu fotonya. Foto diriku yang lain. Aku tahu yang kau tunggu sebenarnya bukan aku yang seperti sekarang ini. Tapi aku yang dulu. Aku tahu…”
“Sampaikan salamku kepadanya, aku sudah sangat rindu….”
Begitu pula aku. Tapi diriku juga yang telah membuat sandiwara konyol ini. Lalu airmatamu leleh perlahan. Aku ingin segera keluar dari suasana ini. Aku tidak kuat melihatmu bersedih. Sebelum aku ikut larut dalam kesedihan, aku pamit pulang.
“Pasti aku sampaikan, tenang saja. Tapi aku harus pulang dulu. Semoga kau baik-baik saja setelah ini. Jangan bersedih lagi….”
Lalu kau mengantarku sampai ke teras rumah. Setelah beberapa langkah aku menoleh kepadamu. Kulihat kau melambaikan tangan dengan tersenyum ke arahku. Senyum yang berbeda dengan saat ku baru tiba. Senyum yang penuh kesedihan.
Aku kembali memantapkan langkahku. Aku takkan lagi membuatmu resah menanti. Akan kupegang teguh janjiku ini.
***
Malam tinggal sisa. Hujan lebat tadi malam tidak lagi terdengar deraunya. Mengapa waktu begitu kanibal? Mengapa waktu begitu lekas melahap malam yang berisi begitu banyak kenangan dan dengan teganya hanya menyisakanku sedikit ingatan?
Aku tidur nyenyak sekali malam tadi. Aku bermimpi kau datang ke rumahku. Aku bahagia karena kau mau datang. Namun aku juga sedih karena yang datang ternyata bukan kau.
Sampai kapan kau akan datang?
Rumah yang kaulihat dari mimpiku itu adalah cerminan perasaanku, cerminan hatiku. Rumah itu juga kesepian, sepertiku yang resah menantimu. Dan selalu, setiap aku berusaha menahan rinduku kepadamu, semakin kuat keinginanku untuk bertemu denganmu.
Kamarku adalah lubuk hatiku yang paling dalam. Seperti yang kau lihat, aku masih seperti dulu. Masih kosong. Karena tak ada yang berhak menempati ruangan itu selain kau. Dan hanya kita yang dapat menempati rumah kita, istana kita. Istana yang sampai sekarang masih kesepian.
Telepon genggam berbunyi. Ada pesan masuk, rupanya dari kau. Lalu kubaca, isinya singkat saja:
Aku akan segera datang, tunggu aku di istanamu malam ini
Jantungku berdegup keras. Tubuhku gemetar sampai aku takut tak bisa mendengar suaraku sendiri. Aku ingin berteriak, tapi tidak bisa untuk saat ini. Semoga saja kau benar. Ketika saat itu tiba, aku takkan melepasmu lagi. Sudah seharusnya kita selalu bersama.
Ah! Kata-kata sudah menyerah membicarakan perasaanku saat ini!
***TAMAT***
31-12-10
[+/-] Cekidot...
[+/-] Tajuk...