Template by:
Free Blog Templates

Tampilkan postingan dengan label Cinta. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cinta. Tampilkan semua postingan

Jumat, 26 Agustus 2011

Paradoks Cinta: Sajak Terdiam

Kuharap bersamamu tak hanya jadi harapan.


Aku ingin mengambil sepotong senja

dan kuberikan untukmu

Aku terdiam, mengajak batu bicara

Engkaukah yang telah menyembunyikan suaraku?

Aku berpaling padamu lagi, kau tersenyum

Adakah kata-kata indah yang dapat kuberikan padamu?



Aku menatap sepotong senja yang tak suka menunggu

kawanan camar, nyiur hijau, deru ombak, langit biru.

Maaf sayang, aku lupa menatap waktu.

Aku terlalu sibuk menirukan gema suaraku. Entah apa itu?


Lama-lama pikiranku menjadi semakin gila

Senja yang tadinya penuh merah di pucuk cakrawala

tiba-tiba bolong begitu saja

Batu yang tadi terdiam saat ku ajak bicara

malah menyeringai menantang mata

Dan kau beranjak seakan mengikuti

kemana senja pergi

Langit menertawakanku, brengsek! Kataku.

Senja telah hilang sebelum aku menyadari engkau

telah raib ditelan tikungan.


Adakah dinding yang menghalangiku memelukmu,

sehingga tubuh hanya terpaku.

Adakah cahaya di bola matamu,

yang memerahkan mataku, merindukan ingatanku

Rindu tinggal rindu saat kau datang padaku

hanya untuk melihatku membisu.


Aku ingin mengambil seiris bulan

sebelum waktu tercebur ke dalam hanyut ingatan

sebelum bintang-bintang berguguran

di ranum pipimu, di cedera lukamu.


Sementara langit hanya hitam, setelah senja pergi

menemui dunia yang kita sendiri tak ketahui

Lalu rinduku bias oleh kilau cahaya bulan di sudut lautan

Saat pelukanmu menyadarkan lamunan yang memakuku.

Aku seakan menemukan suaraku kembali, mengatakan

sebuah frasa yang aku tak tahu apakah kau masih sudi mendengarkan.

Frasa yang klise, frasa yang cuma klausa

Frasa yang mungkin cuma paradoks cinta yang tak berkesudahan.

Kau tahu kan?


Ini adalah awal, dari sebuah akhir.

Namun ku tak tahu mana awalku mana akhirku

Atau akhirku hanya permulaanku?

Ah, cintaku. Rinduku kepadamu hanya membuatku semakin membenci waktu.

Aku ingin pulang saja, senja, matamu sudah minus delapan sepertinya.


***


Ups! Rupanya bulan mengintip pesan yang terselip

di sudut akhir puisiku,


Aku ingin melihat bulan cemburu

melihat engkau bersinar di hatiku.



(8-9-2011)


[+/-] Cekidot...

Kamis, 21 April 2011

Tiga Tahun di Bawah Kibaran Putih Biru

For: My Bestest Friend

Satu hari. Saatnya mengganti yang lama dengan yang baru.
Kulupakan sejenak kenangan masa-masa sd walau nanti pasti teringat lagi.
Saatnya mengenakan seragam baru, putih biru.
Kuharap langit masih biru saat pertama kali menjejakkan kaki di kelas baru.
Kuharap seekor kupu-kupu melintas di depanku, hinggap di jemariku
Untuk sekedar mengingat manis senyummu.
Kemanakah kau pergi saat aku sedang bingung akan kemanakah aku?

Satu bulan, seperti sudah berbulan-bulan aku di sini.
Awal yang biasa-biasa saja, tak ada kesan di hati
Hari-hari kulewati hampir tanpa senyuman sekalipun dengan muka sendiri.
Namun paling tidak aku masih bisa mengingat wajahmu.
Sehingga aku dapat meminjam senyummu, lalu kukenakan ke mukaku.
Tentu saja, itu senyum palsu.
Semoga kau tidak marah atas segala tingkah lakuku.

Ah, sudah lama benar aku kehilangan senyumku.

Satu tahun. Ini tahun kedua aku disini.
Kugeledah ruang-ruang dalam tasku yang penuh berisi kenangan kelas tujuh.
Lalu kurangkum semua, kuawetkan semua dalam kristal mataku.
Namun, tak semua menjadi kenangan indah yang tak terlupakan dalam ingatan
Lagi-lagi aku tak melihatmu. Dimanakah kau
cintaku? Mungkinkah ini seperti sajak penyairku,
Chairil Anwar, “Cintaku Jauh di Pulau”?
Ya, mungkin saja. Bedanya, hanya waktu dan diriku yang membuatku
jauh dari engkau.

Tiga tahun. Telah tiga tahun aku di bawah kibaran putih biru.
Akhirnya kutemukan kembali senyumku bersemayam dalam hangat senyummu.
Namun, mengapa bangku sekolah begitu benci melihat kita bertemu?
Mengapa waktu begitu cepat berlalu sebelum aku sempat menatap matamu?

Tiga tahun. Telah tiga tahun aku di bawah kibaran putih biru.
Kuharap langit masih biru saat aku harus berpisah denganmu....

(19-4-2011)

[+/-] Cekidot...

Minggu, 03 April 2011

Surat Cinta Seorang Ahli Fisika

Artikel Ini Diambil Dari: Surat Cinta Seorang Ahli Fisika | Dunia Unik http://www.dunia-unik.com/2011/03/surat-cinta-seorang-ahli-fisika.html#ixzz1IQuZtYkK

http://hermawayne.blogspot.com
Semenjak bertemu denganmu, energi statik benih cintamu telah mengejutkan gaya pegas jantungku, sehingga jantungku berdetak tak beraturan bagaikan gelombang bunyi gendang yang tak beraturan saat aku berada beberapa meter darimu. Refleksi cahaya cintamu telah membunuh urat mataku sehinga membiaskan bayangan wajahmu yang selalu di otakku.

Pancaran Radiasi Pesonamu membuat otakku tidak bisa berpikir rasional, sehingga elektromagnet dalam hatiku terpengaruh gelombang magnet cintamu. Sejak Saat itu, atom-atom penyusun cinta ini kian mengumpul karena gaya listrik statik dan energi Potensial di hatiku.

Saat jauh darimu, partikel-partikel cintaku tidak bisa diam sehinga melakukan tumbukan-tumbukan lenting sempurna dan menghasilkan energi rindu dengan rumus E = MC2, yang mana M adalah Masa waktu dimana semakin lama semakin jauh darimu maka energi rinduku semakin bertambah besar. Sedangkan C adalah Cintaku padamu yang berbanding lurus dengan Energi rinduku.

Usaha untuk memberikan gaya lorenzt-ku padamu telah kuberikan dengan FL = i B Sin ØØ. Mudah-mudahan dengan penurunan rumus cintaku padamu dapat memahami pemuaian cintaku padamu dan peningkatan massa jenis cintaku agar tekanan cinta dalam hatiku bisa setimbang setelah bereaksi dengan cahaya cintamu. Dimana bila FL adalah gaya cintaku padamu akan berbanding lurus dengan i (arus listrik cintaku) dan B adalah besarnya medan magnet dalam hatiku dan arah sudut refleksi cinta dengan Sin.

I intensitas

L listrik
O optik
V kecepatan
E energi

U usaha

sumber

[+/-] Cekidot...

Minggu, 13 Februari 2011

Surat Cinta Seorang Hacker

Seandainya hatimu adalah sebuah system, maka aku akan scan kamu untuk mengetahui port mana yang terbuka Sehingga tidak ada keraguan saat aku c:\> nc -l -o -v -e ke hatimu,tapi aku hanya berani ping di belakang anonymouse proxy, inikah rasanya jatuh cinta sehingga membuatku seperti pecundang atau aku memang pecundang sejati whatever!


Seandainya hatimu adalah sebuah system,
ingin rasanya aku manfaatkan vulnerabilitiesmu, pake PHP injection Terus aku ls -la; find / -perm 777 -type d,sehingga aku tau kalo di hatimu ada folder yang bisa ditulisi atau adakah free space buat aku?. apa aku harus pasang backdor "Remote Connect-Back Shell"jadi aku tinggal nunggu koneksi dari kamu saja, biar aku tidak merana seperti ini.

Seandainya hatimu adalah sebuah system,
saat semua request-ku diterima aku akan nogkrong terus di bugtraq untuk mengetahui bug terbarumu maka aku akan patch n pacth terus,aku akan jaga service-mu jangan sampai crash n aku akan menjadi firewallmu aku akan pasang portsentry, dan menyeting error pagemu " The page cannot be found Coz Has Been Owned by Someone get out!" aku janji gak bakalan ada macelinious program atau service yang hidden, karena aku sangat sayang dan mencintaimu.

Seandainya hatimu adalah sebuah system,
jangan ada kata "You dont have permission to access it" untuk aku, kalau ga mau di ping flood Atau DDos Attack jangan ah....! kamu harus menjadi sang bidadari penyelamatku.

Seandainya hatimu adalah sebuah system, ...?

Tapi sayang hatimu bukanlah sebuah system,
kamu adalah sang bidadari impianku, yang telah mengacaukan systemku!
Suatu saat nanti aku akan datang n mengatakan kalau di hatiku sudah terinfeksi virus yang Menghanyutkan, Ga ada anti virus yang dapat menangkalnya selain ...kamu.

[+/-] Cekidot...

Senin, 07 Februari 2011

SEBAIT RINDU DI ISTANA YANG KESEPIAN

Buku,alat tulis,siap. Pakaian rapi. Mandi sudah. Telepon genggam? Biarlah tidur di rumah. Capek. Malam ini seperti biasa aku berangkat kerja. Sebenarnya cuma kerja sambilan sih. Bisa dibilang kurang kerjaan. Hmmm….

Jadi wartawan, kalau ini bisa dibilang wartawan. Yah… mau gimana lagi? Wartawan amatiran. Kerjanya sehari-hari cuma dikerjain kerjaan. Mengisi waktu luang tapi perut tak pernah kenyang. Ah, kalau dipikir-pikir ngapain juga aku jadi wartawan. Padahal aku sama sekali nggak pernah berpikir untuk jadi wartawan. Tapi justru itu yang membuatku sering kepikiran.
Sudah sejam. Ah, lama juga aku dandan. Tapi kok nggak cakep-cakep juga ya? Sering aku ingin menggampar cermin yang berdiri tegak di depanku. Cermin yang seakan selalu mengejekku saat aku berdiri di hadapannya. Cermin yang sering menipuku, membodohiku, dan kadang-kadang juga membuka semua aibku. Lalu, tanpa kusadar, cermin itu telah membius mataku sampai aku tak dapat berdaya lagi di hadapannya.
Baiklah, semua oke. Huh, di luar hujan. Aku nekat pergi ke rumahmu. Rupanya tak begitu dekat. Namun juga tak terlalu jauh dari hatiku. Rumahmu besar juga. Lebih mirip istana daripada sebuah rumah. Karena rumahmu terlalu indah kalau hanya sekedar disebut sebuah rumah. Terlalu cantik bila harus dilukiskan dengan kata-kata. Kau memang suka keindahan. Tidak sepertiku. Kamarku hampir setiap hari tak pernah bisa lepas dari kata jorok, berantakan, kotor, dan sebangsanya.
Sesampainya di depan pintu, aku jadi ragu.
Akhirnya kuputuskan untuk mengetuk pintu. Tapi belum sempat jari-jemariku mengetuk pintu, aku mendengar suara yang sangat kukenal dari sampingku. Aku menoleh. Ternyata kau!
“Hai,tumben mampir. Darimana kau tahu rumahku? Wah, kehujanan ya? Kedinginan? Bajumu basah. Ayo masuk. Nggak usah sungkan, anggap saja rumah sendiri. Aku ke belakang dulu. Kubawakan handuk dan segelas teh hangat untukmu.” katamu bertubi-tubi dengan wajah berseri-seri. Seperti sudah sepuluh tahun tidak pernah bertemu. Senyummu pun turut menghiasi wajahmu. Ah, aku tak mampu melawan senyum manismu. Seandainya saja aku bukan wartawan. Saat itu kumaki diriku sendiri. Kenapa aku tak datang kesini sebagai diriku sendiri?
Pelan-pelan kau buka pintu depan rumahmu. Lalu mempersilahkanku duduk di kursi tamu sementara kau ke belakang seperti yang kau katakan tadi. Ternyata aku salah mengira tentang bagian dalam rumahmu. Rumahmu begitu sederhana. Tak ada barang-barang yang punya nilai jual tinggi di pasaran. Tidak ada gemerlap hiasan lampu yang menyilaukan mataku. Semua serba sederhana. Tapi ini sudah lebih dari cukup untuk dikatakan indah bagiku.
Hanya satu hal yang kurang dari rumah ini….
Keramaian. Ya, hanya itu. Karena rumah ini begitu sepi. Aku berpikir bagaimana kau dapat hidup di rumah seluas ini seorang diri? Aku tak tahu kenapa. Maka dari itu aku ingin menanyakannya kepadamu setelah kau kembali.
Tak lama kemudian kau pun kembali. Lalu aku mengatakan sesuatu kepadamu.
“Maafkan aku, dia tidak disini. Aku hanya seorang wartawan amatiran yang tersesat jauh di hatimu. Karena itu, aku ingin menanyakan beberapa hal kepadamu. Semoga saja suatu saat kalau dia sudah siap, dia akan datang kesini. Bolehkah aku bertanya?”
“Oh,begitu. Baiklah, mau tanya tentang apa?”
“Kau benar-benar sendirian tinggal di rumah ini?”
“Sendirian? Itu relatif. Jawabannya ya dan tidak.”
“Maksudnya?”
“Ya, karena seperti yang kau lihat, aku sendirian tinggal di rumah ini. Tapi juga bisa dibilang, aku tidak sendirian, karena ada sesuatu yang selalu menemani kesendirianku.”
“Sesuatu? Sesuatu apa itu?”
“Kau mau tahu? Sini, akan kutunjukan sesuatu itu padamu.”
Lalu kau raih tanganmu. Ah! Hampir jatuh aku saking gugupnya. Ruangan demi ruangan dilalui. Tidak ada yang istimewa kecuali hamparan foto-fotomu yang memenuhi dinding sampai ke sudut ruangan. Hi…. Aku kok jadi takut melihat foto-foto itu seakan menatapku, mengawasiku, mengintimidasiku, seakan tak memperbolehkanku masuk ruangan-ruangan dalam rumahmu. Foto-foto yang sama sekali tidak kukenal, namun pernah sesekali kulihat dalam mimpiku.
“Hei, tanganmu gemetar. Jangan takut, memang beginilah rumahku,” katamu yang masih menggandeng tanganku.
“Eh, kau sendiri tidak takut?”
“Kenapa mesti takut? Merekalah yang menemani kesendirianku di sini.”
Begitukah? Hal itu adalah ketakutan bagiku. Namun tidak bagimu. Aku benar-benar tidak percaya kau bisa hidup dengan kondisi seperti ini. Aku jadi semakin penasaran dengan perasaanmu yang sebenarnya akan hal ini. Mungkinkah ada sesuatu yang sengaja kau sembunyikan dariku?
“Tapi sebenarnya…. Aku memang kesepian. Tidak ada di antara mereka yang benar-benar dapat menghiburku. Hanya satu yang bisa sekedar melepas rinduku kepada “dia”. Sayang, dia tak di sini. Hanya ada kau. Sini, aku tunjukkan.” Lalu kita lanjut jalan ke kamarmu. Tidak seperti ruangan yang lain, tidak ada foto memenuhi dinding kamarmu. Kemudian kau membuka laci lemari di samping kasur, dan memperlihatkan selembar foto kepadaku.
Hah? Foto itu, wajah yang sering kulihat di depan cermin tempat ku biasa bercermin. Wajahku! Benarkah itu aku? Sesaat aku tidak mempercayai penglihatanku. Lalu aku kucek-kucek mataku dan memastikan kalau itu benar aku. Diriku sebelum memakai seragam wartawan amatiran ini.
Kita terdiam beberapa saat. Mulutku seakan terkunci oleh suatu hal entah apa hal itu. Begitu juga kau. Setelah kukumpulkan keberanianku beberapa saat kemudian aku pun angkat bicara,
“Hmmm….. Ya, aku mengerti, itu fotonya. Foto diriku yang lain. Aku tahu yang kau tunggu sebenarnya bukan aku yang seperti sekarang ini. Tapi aku yang dulu. Aku tahu…”
“Sampaikan salamku kepadanya, aku sudah sangat rindu….”
Begitu pula aku. Tapi diriku juga yang telah membuat sandiwara konyol ini. Lalu airmatamu leleh perlahan. Aku ingin segera keluar dari suasana ini. Aku tidak kuat melihatmu bersedih. Sebelum aku ikut larut dalam kesedihan, aku pamit pulang.
“Pasti aku sampaikan, tenang saja. Tapi aku harus pulang dulu. Semoga kau baik-baik saja setelah ini. Jangan bersedih lagi….”
Lalu kau mengantarku sampai ke teras rumah. Setelah beberapa langkah aku menoleh kepadamu. Kulihat kau melambaikan tangan dengan tersenyum ke arahku. Senyum yang berbeda dengan saat ku baru tiba. Senyum yang penuh kesedihan.
Aku kembali memantapkan langkahku. Aku takkan lagi membuatmu resah menanti. Akan kupegang teguh janjiku ini.
***



Malam tinggal sisa. Hujan lebat tadi malam tidak lagi terdengar deraunya. Mengapa waktu begitu kanibal? Mengapa waktu begitu lekas melahap malam yang berisi begitu banyak kenangan dan dengan teganya hanya menyisakanku sedikit ingatan?
Aku tidur nyenyak sekali malam tadi. Aku bermimpi kau datang ke rumahku. Aku bahagia karena kau mau datang. Namun aku juga sedih karena yang datang ternyata bukan kau.
Sampai kapan kau akan datang?
Rumah yang kaulihat dari mimpiku itu adalah cerminan perasaanku, cerminan hatiku. Rumah itu juga kesepian, sepertiku yang resah menantimu. Dan selalu, setiap aku berusaha menahan rinduku kepadamu, semakin kuat keinginanku untuk bertemu denganmu.
Kamarku adalah lubuk hatiku yang paling dalam. Seperti yang kau lihat, aku masih seperti dulu. Masih kosong. Karena tak ada yang berhak menempati ruangan itu selain kau. Dan hanya kita yang dapat menempati rumah kita, istana kita. Istana yang sampai sekarang masih kesepian.
Telepon genggam berbunyi. Ada pesan masuk, rupanya dari kau. Lalu kubaca, isinya singkat saja:
Aku akan segera datang, tunggu aku di istanamu malam ini
Jantungku berdegup keras. Tubuhku gemetar sampai aku takut tak bisa mendengar suaraku sendiri. Aku ingin berteriak, tapi tidak bisa untuk saat ini. Semoga saja kau benar. Ketika saat itu tiba, aku takkan melepasmu lagi. Sudah seharusnya kita selalu bersama.
Ah! Kata-kata sudah menyerah membicarakan perasaanku saat ini!
***TAMAT***
31-12-10

[+/-] Cekidot...

Minggu, 30 Januari 2011

Huruf-huruf Hujan

Hujan seperti bus antarpropinsi.
Mondar-mandir, pulang pergi.
Seperti aku yang masih gelisah menunggu
disini. Ditemani sepi yang kadang mengganggu

Hujan kian membelenggu suara.
Membuatku kini hanya bisa bicara a,i,u,e,o
seperti saatku baru bisa bicara

Dengan mereka kutitip salam untukmu:
Huruf a paling bisa bersuara, sampai telingapun
bisa rontok karenanya
Huruf i cuek saja, tak peduli, teman baik sepi
Huruf u yang setia menunggumu, yang sering
mengirim pesan rindu
Huruf e kabur entah kemana, setelah berhasil mencekik leherku
Huruf o adalah bulatan mataku, yang tercebur di kolam mimpimu

Hujan pergi meninggalkan sunyi di malam ini.
Menyisakan kata-kata yang tak semuanya
terangkum dalam sebuah puisi.
                              
24-01-11

[+/-] Cekidot...

Minggu, 23 Januari 2011

Untuk: Kau

Hujan bukannya surut, malah makin besar saja
Halilintar makin ganas dan siap menyambar siapa saja
Udara yang tadinya ramah makin membuat gerah
Tapi aku tetap melangkah, tak mau mengalah
Karna ini adalah jalan. Jalan yang kutempuh
untuk menggapaimu.
Kau sudah terlalu lama menunggu.
Menungguku
Hatimu masih sepi saat pertama kali ku datang menemuimu
Senyummu sudah cukup menghangatkan tubuhku
yang habis dibasahkuyupkan hujan digilas waktu

Lihat, kita sudah sangat dekat
Namun kau dan aku sangat jauh terlewat
Sudah saatnya kata kau dan aku dihapuskan
Hingga hanya ada kita

Kita akan bersama
Sampai waktu bosan
menghitung hari, tanggal, dan bulan
Sampai kapanpun akan selalu bersama
Sampai kata tak mampu lagi bicara
Sampai airmata tinggal setetes saja
(25 Des ’10)

[+/-] Cekidot...

Jauh dan Dekat

Sudah dekat. Mengapa?
Mengapa begitu cepat?
Harum semerbak Januari masih terasa lekat
Tanggalan belum sempat
ditanggalkan dan diralat.

Sudah dekat. Mengapa?
Mengapa begitu cepat?
Mengapa saat-saat yang indah tanpa cacat
begitu cepat terlewat?
Mengapa saat-saat yang berkarat
masih terus teringat?

Lalu adakah sekat
antara jauh dan dekat?
Kau sangat jauh, tapi sangat dekat
Aku ingin tanya padamu, kalau sempat

Saat yang sudah dekat itu datang
Kemanakah kita pulang
dan kapan lagi kita mendengar
lolongan si binatang jalang?

(25 Des ’10)

[+/-] Cekidot...

PETA DUNIA

 

Sasuke's Mangekyō Sharingan