Jam menunjukkan pukul 06.33.
Ah….,pagi yang cerah di desa Sukamakan. Kenapa dinamakan desa Sukamakan? Itu mungkin karena penduduknya pada suka makan kali ya? Atau emang nggak ada nama desa yang lebih pas buat cerita ini? Itu suka-suka pengarang. Kalau nggak suka, ya karang-karang aja sendiri,he…he…he…
Yang jelas ini desa letaknya di pinggiran kota. Dibilang terpencil, nggak, dibilang terkenal, juga nggak. Tapi walau gitu, desa ini bisa dibilang sama kayak suasana desa-desa yang lain. Aman, tenteram, damai, sejahtera. Dan yang paling penting, dari desa inilah cerita ini dimulai. Ini kelanjutan ceritanya.
Di sebuah rumah, terdengar suara seorang ibu-ibu yang dari tadi subuh udah teriak-teriak, ngomel-ngomel, bikin budek telinga orang-orang di sekitarnya. Siapa lagi kalau bukan Mak Martini. Hampir tiap pagi ia ngomel-ngomel begitu. Kenapa? Ya kenapa lagi kalau bukan buat ngebangunin anaknya. Sampai-sampai saking susahnya dibangunin, Mak Martini pun terpaksa pakai jurus pamungkas…..
Byuuuurrrrr…….!!!!!!!!
“Woy, banguuuuun!!!!!! Lu anak orang apa anak kebo sih!?” bentak Mak Martini sehabis mengguyur seember air ke anaknya. Sampai-sampai tak sadar kalau itu anaknya sendiri.
Yang dibentak dan diguyur gelagapan. Langsung bangun njenggirat dari kasurnya. Lalu ngucek-ngucek mata. Sambil mengumpulkan nyawa yang belum pada pulang semua, ia bertanya dengan emaknya,
“Mak, udah sampai mana?”
“Udah sampai kuburan!!!” sahut emaknya geram.
Eh, malah ngeloyor pergi. Padahal matanya sendiri masih setengah melek.
“Mau kemana lu?”
Tak ada jawaban.
“Woy!!!”
Tetap tak ada jawaban.
“WOOYYY…….,LU PUNYA KUPING NGGAK SIH….!!!!!” teriak Mak Martini sudah kehilangan kesabaran.
Udah dibentak begitu, tetep aja ia melangkah dengan sempoyongan. Sampai di mulut pintu,
Srekkkk, gubrakkkhght….!!!!
Dasar emang matanya masih merem melek, remang redup, ia nggak melihat di bawah ada ember penuh berisi air buat ngepel lantai emaknya tadi. Nasiiib….nasib, baru diguyur, kepleset, dibentak-bentak pula! Lengkap sudah penderitaannya,hmmm……
Dia Utama. Kenapa diberi nama Utama? Ya karena dia tokoh utama dalam cerita ini. Dia memang setiap pagi begitu. Kalau nggak, bisa kebablasan tidurnya. Utama sendiri masih sekolah. Sekolahnya di SMP Pancasila dan ia kini duduk di bangku kelas IX-Z (hehehe….,jangan protes ya). Setelah ia sudah menemukan kesadarannya secara utuh, ia berdiri dan melihat jam dinding.
“UWAAAAA……!!!!! Bisa telat kalo kayak gini!!!!”
Secepat kilat ia mandi, gosok gigi, pake baju, meraih tas, dan mengayuh sepeda dengan cepatnya. Sampai di sekolah, kalau terlambat sedetik saja bisa nggak boleh masuk kelas. Fuh, untung masih ada sedikit keberuntungan yang memihak kepadanya. Utama nggak telat, cuma……
“Stop! Siapa suruh masuk? Kamu itu, tiap hari tidak pernah benar ya,” tegur Pak Rusman, guru kelasnya.
“Lho Pak, saya kan nggak terlambat. Lagian, kurang apa lagi coba? Baju seragam ada, dasi ada, celana ada,” “Iya, bapak tahu, tapi, lihat tuh, sepatu apa yang kamu pakai!”
Utama menunduk ke bawah, ia terkejut ketika yang ia pakai sandal bakyak emaknya.
Serempak sekelas tertawa.
“Diam! Utama, kamu dilarang masuk kelas sampai bel istirahat!”
Suasana kelas kembali tenang. Utama sendirian menunggu di depan kelas sampai bel istirahat.
Sepulang sekolah, seperti adatnya tiap hari, Utama yang biasa dipanggil Tama ini menuju ke tempat biasa ia nongkrong. Di sebuah pohon sawo yang rindang dan banyak buah sawonya.Di tepi kali yang coklat warnanya. Di belakang gedung sekolahnya yang bisa dibilang biasa-biasa saja. Nggak ada unik-uniknya. Ia biasa kesini, duduk di bawah pohon sawo. Kadang-kadang manjat, kadang-kadang cuma duduk memandang ke kejauhan, kalau lapar, ia tinggal memetik buah sawo di atasnya. Lalu ia merogoh-rogoh tasnya. Mengambil sebuah buku kecil dari saku celananya.
Itu ia namai buku lamunan. Kenapa? Karena di situ ia menulis segala lamunannya, segala mimpinya,dan segala impiannya. Dan di tempat itu, Utama biasa melaksanakan hobinya, yaitu melamun. Ia duduk santai, memandang ke kejauhan. Dimana ia temukan segala hal yang ia cita-citakan.
Dua belas tahun kemudian di Desa Sukamakan.
Sebuah mobil mercy merah barusan diparkir di depan sebuah rumah sederhana beratap seng dan bertembok batu-bata yang belum dicat semua. Kemudian muncul seseorang dari dalam mobil itu. Mulai dari jas, kacamata, baju, celana, sepatu, semuanya serba mahal dan mewah. Ia berjalan, melangkah pasti menuju rumah itu. Siapa dia?
Tak lain dan tak bukan, dia Utama. Baru saja ia pulang kampung setelah sukses merantau di kota besar. Dan kini ia ingin memperlihatkan kesuksesannya pada emaknya, yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Rasa kangennya tidak terbendung lagi. Ia ingin cepat-cepat bertemu emaknya. Tok,tok,tok,
“Assalamu’alaikum,”
Belum ada jawaban. Rumah itu sepi sekali.
“Mak,mak?” panggil Tama.
Tetap tak ada jawaban.
Akhirnya Utama masuk, sambil berkali-kali memanggil-manggil emaknya. Tak lama kemudian, seorang wanita tua muncul dari belakang rumah. Dari gurat-gurat keriput di wajahnya, jelas ia sudah tua (nggak perlu dijelasin lagi kan?). Dialah Mak Martini, emaknya Utama. “Mak, inget nggak?”
“Siapa lu?” tanya Mak Martini heran campur kaget campur bingung (campur apa lagi ya?).
“Mak lupa ya? Ini Utama, anak emak!”
“Utama? Bentar-bentar, biar diinget-inget dulu,”
“Lah, kan anak emak cuma satu, masa lupa?” “UTAMAAAA……..!!!! KEMANA AJA SELAMA INI? BIKIN PUSING EMAK AJA LU!”
Lalu Utama berlari menuju emaknya. Bermaksud untuk memeluknya. Karena buru-buru, ia tidak melihat ada ember penuh air buat ngepel di depan kakinya. Sontak ia kesandung, dan……
Sreeekkk….,Braaakkk,Byuuurrr!!!!!!
Utama megap-megap. Ia pun tersadar dari lamunannya. Rupanya ia baru diguyur air oleh Otong, yang emang usil anaknya.
“Woy!!! Awas lu ya!” ancam Tama. Otong pun berlari. Dan Tama mengejarnya.
“Makanya, jangan suka ngelamun!”
“Emang kenapa? suka-suka gue dong!!! It’s not your trouble!
“Sakarepmu!!! Yang penting hepi…..”
“Woy, jangan lari lu!!!”
Tapi Otong lebih cepat larinya dibanding Tama. Akhirnya Tama pulang dengan perasaan kesal.
“Sialan! Kenapa kok kayaknya aku sial melulu!” umpatnya dalam hati.
Malam harinya, Tama kelihatan sibuk sekali mencari-cari buku lamunannya. Karena dicari-cari terus nggak ada, ia pun menyerah dan memilih duduk di kursi saja.
“Pasti gara-gara ngejar Otong tadi, tuh buku ketinggalan di bawah pohon sawo,” pikirnya.
Lama-lama ia jadi teringat masa lalunya. Masa saat bapaknya masih hidup. Ya, memang bapak Tama sudah meninggal sejak Tama duduk di kelas empat SD. Berbeda dengan anaknya yang pemalas dan suka ngelamun, beliau justru pekerja keras. Walau profesinya hanya sebagai kuli bangunan, tapi beliau bersusah payah membanting tulang demi mencukupi kebutuhan keluarganya secukup-cukupnya. Saking kerasnya bekerja, bapak Tama jadi lupa waktu. Beliau meninggal karena terjatuh dari atap gedung ketika sedang mengerjakan sebuah proyek bangunan. Saat hendak dibawa ke rumah sakit, nyawanya keburu melayang.
Utama merupakan anak laki-laki semata wayang dalam keluarganya. Bapaknya percaya dia akan jadi orang yang sukses, yang membanggakan buat keluarganya. Tapi, ia tipe anak yang nggak bisa diandalkan. Capek sedikit, males. Di sekolah juga nggak bisa dibilang murid berprestasi. Nilai akademisnya jarang ada di atas KKM sekolahnya. Tapi ia punya satu kelebihan.
Melamun, itu kelebihannya. Sudah nggak kehitung ide-ide gila yang muncul dari lamunannya itu. Mulai dari yang sepele sampe yang paling kontroversial. Sehingga teman-teman bahkan gurunya menganggap dia sudah gila. Dan lagi, ia selalu menentang arus. Tama selalu berbuat yang berlawanan dan berbeda dari teman-temannya. Ya pokoknya gitu deh, dia nggqk suka hal-hal yang biasa-biasa saja. Kalo ditanya cita-cita, ketika kebanyakan temannya ingin menjadi seorang yang hebat, apa itu polisi,tentara,pilot,dokter, dan lain-lain, ia malah menjawab,”Saya mau jadi bayi aja! Biar nggak pusing mikirin apa-apa,”
Malam ini, tak seperti biasanya, Utama begitu gelisah. Entah karena buku lamunannya yang hilang atau karena ia teringat kepada almarhum bapaknya. Saat bersama bapaknya ia begitu ceria. Tidak seperti sekarang. Kabar kematian bapaknya yang begitu mendadak benar-benar membuatnya terpukul. Tapi, tak ada yang bisa ia lakukan kecuali melamun.
“Pak, aku ini bisa apa? Seandainya bapak ada di sini, aku pasti……,” Tama tak melanjutkan kalimatnya. Karena seperti ada yang memanggilnya, jauh di lubuk hatinya.
“Tama, jadi laki-laki tu harus tegar. Jangan hanya bisa mengeluh dan berpangku tangan. Lakukan apa yang kamu bisa. Kalau kamu nggak bisa ini, kenapa nggak coba itu? Bapak yakin kamu bisa tanpa bapak…..”
Utama coba mengenali suara itu. Ia lalu sadar itu suara bapaknya.
“Bapak……..”
Bayangan bapaknya itu hanya tersenyum. Lambat laun bayangan itu memudar, dan akhirnya hilang sama sekali.
Tanpa sadar, air matanya leleh perlahan.
Sayang, itu hanya lamunannya lagi.
JKKKJ
Keesokan harinya, ya kayak biasanya. Dioprak-oprak, dibentak-bentak oleh emaknya. Tapi Utama lebih semangat pagi ini. Entah kenapa, mungkin karena efek lamunannya tadi malam. Walaupun tetap harus dibangunkan emaknya, tumben pagi ini ia bisa melek tiga puluh menit dua puluh sembilan detik lebih pagi dari kemarin (hitung aja sendiri).
Utama pergi ke sekolah. Dan tumben ia pake seragam bener nggak kayak kemarin-kemarin. Pelajaran demi pelajaran dilalui. Lalu bel pulang sekolah pun berbunyi. Ini saat yang ia tunggu-tunggu. Apa lagi kalau bukan ke tempat biasa ia nongkrong, tempat biasa ia ngelamun, ya ke bawah pohon sawo tepi kali belakang sekolahnya.
Lalu ia pun jadi teringat sesuatu. Ia pernah meninggalkan buku lamunannya di bawah pohon sawo itu. Ia pun segera ke sana. Tapi alangkah kecewanya ia ketika melihat bukunya yang sangat berharga itu sudah tidak ada. “Waduuuh……, kemana sih bukuku? kalo ilang bisa berabe nih! Huh!” kata Utama sambil sibuk mencari-cari bukunya di sekeliling pohon sawo yang rindang itu. Tapi ia dikagetkan oleh suara yang tak asing lagi didengarnya.
“Tuh, Pak, anaknya,” kata Otong kepada seorang bapak-bapak yang berada di sampingnya.
“Dik, kamu yang namanya Utama ya?” tanya bapak-bapak itu pada Utama.
Utama pun menoleh, ia agak terbata-bata menjawab, “Eh,ng….,iya Pak, ada apa ya?”
“Ini buku kamu?”
“Iya, kok Bapak bisa tahu?”
“Kenalkan, nama Bapak Anton. Bapak fotografer majalah Suara Siswa. Saat bapak lagi jalan-jalan dan mencari inspirasi untuk bahan jepretan, dan duduk di bawah pohon ini, tanpa sengaja bapak menemukan buku kecil ini. Saat dibuka dan bapak baca, isinya mengagumkan! Ide-ide yang tertulis disini kalau dikembangkan mungkin akan lebih bermanfaat. Bisa dibuat karya sastra bagus lho. Lalu bapak cari tahu siapa pemilik buku ini. Kebetulan ada Dik Otong lewat depan sini. Ternyata Dik Otong kenal baik sama kamu,Dik Tama. Bukan begitu Dik Otong?” kata Pak Anton yang kemudian menoleh ke arah Otong.
“Iya, aku ketemu Pak Anton tadi pagi. Trus kusuruh nunggu kamu sampe pulang sekolah. Soalnya kamu kan kalo pulang sekolah biasa ngelamun di sini,” tambah Otong membenarkan. “Oh……..,” kata Tama tanda udah paham.
“Setelah membaca tulisan nak Tama ini, Bapak jadi kepikiran majalah tempat bapak bekerja. Kebetulan sekali sedang membutuhkan pengarang berbakat seperti Dik Tama ini. Mau kan? Jadi rekan bapak? Nanti bapak kenalkan dengan Pak Redaktur untuk mengurus semuanya.” “Ah, Pak, saya ini memangnya siapa? Disuruh apa-apa aja nggak bisa,” kata Utama dengan nada pesimis.
“Nggak, Dik Tama memang jenius. Darimana adik bisa mendapatkan ide-ide itu?”
“Itu………, itu cuma lamunan-lamunan saya yang nggak kesampean, jadi ditulis di situ deh,”
“Bagaimana, Dik? Setuju?”
“Tapi….., gimana kalau saya pikir-pikir dulu Pak?”
“Ok, no problem, ini kartu nama saya. Kalau Dik Tama setuju, datang ke alamat ini,” kata Pak Anton sambil menyerahkan kartu namanya. Setelah itu, beliau pun bergegas pergi sambil terus-terusan menenteng kameranya.
“Wahhh….., kayaknya pelamun kita baru dapet rejeki nomplok nih!” goda Otong kemudian.
“Ah, lu Tong!” kata Tama yang kemudian mendorong Otong. Tapi karena ia mendorong terlalu keras, Otong kepleset dan jatuh ke kali. Untung nggak dalam kalinya. Cuma, baunya itu lho……
“Woy sialan! Kalo dorong kira-kira dong!” umpat Otong.
“Sorry Tong, hehehe….., itung-itung pembalasan buat kemaren. Dadah…..,” kemudian Utama berlari meninggalkan Otong yang masih kesusahan manjat ke atas bibir kali.
“Woy, jangan lari! Bantuin dong! Ma, Tama!!!!” teriak Otong memanggil-manggil nama Utama. Tapi yang dipanggil udah keburu melesat jauh.
Utama masih berlari-larian, berteriak-teriak, kadang ketawa, kadang nyubit-nyubit dan ngaplokin pipinya sendiri, dan berkata,
“Aku nggak mimpi, aku yakin aku nggak mimpi kali ini! Hahaha……,”
Lalu ia meneruskan larinya. Menuju rumahnya. Walaupun tingkah lakunya membuat orang-orang di sekitarnya mengira dia sudah gila, tapi ia mengabaikannya.
“EMAAAAK…..!!!!BAPAAAKKK….!!!!Tama tahu sekarang, Tama tahu!!!” serunya kemudian. Meskipun tidak ada emak dan bapaknya di situ.
Ya, Utama kini telah tahu. Siapa dia sebenarnya. Dan ia merasa sangat bahagia kala itu. Rupanya lamunannya telah mengantarnya menuju jalan yang lebih baik di depan matanya. Tak disangka!
Meski ini baru awal, awal untuk segalanya.
TAMAT
[+/-] Cekidot...
[+/-] Tajuk...