Template by:
Free Blog Templates

Tampilkan postingan dengan label Coretanku. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Coretanku. Tampilkan semua postingan

Jumat, 09 September 2011

Rumahku, Tempat tinggalku

Saya bertempat tinggal tidak jauh dari sekolah saya, SMA Negeri 1 Pemalang. Dari sekolah menuju rumah saya, kira-kira jaraknya berkisar antara tiga ratus sampai lima ratus meter. Tepatnya saya beralamat di Perumahan Puri Praja Kencana Jalan Kalimantan III no. 6, Mulyoharjo, Pemalang. Sebagai acuan, perumahan tersebut terletak di sekitar Jalan Sulawesi.


Rumah saya terletak di sebelah selatan Jalan Sulawesi. Sebagian besar rumah di perumahan ini memiliki cat dan tipe bangunan yang relatif sama. Selain itu, papan nama jalan disini masih sangat terbatas jumlahnya. Bahkan untuk papan nama jalan yang menuju rumah saya (Jalan Kalimantan III) masih belum ada. Sehingga bagi orang yang belum pernah kesini mungkin akan kesulitan menemukan rumah saya.

Di depan rumah saya adalah persawahan yang semakin sempit karena semakin banyaknya bangunan rumah yang mendesaknya. Meski begitu saya masih dapat merasakan segarnya udara persawahan terutama ketika pagi hari. Selain itu karena rumah saya menghadap ke selatan, apabila di pagi hari cuaca cerah dan tidak berawan, di kejauhan saya biasanya dapat melihat pemandangan berupa Gunung Slamet yang sangat indah.

Untuk ukuran sebuah rumah di kompleks perumahan saya, rumah saya termasuk sederhana. Rumah saya dominan cat hijau kecuali tembok pagar dan langit-langit ruang tamu yang berwarna merah jambu. Agar tidak terlihat gersang, di depan rumah ditanami berbagai jenis bunga, dua buah pohon mangga, dan sebuah pohon sawo. Di dalam ruang tamu hanya ada hiasan seadanya, tidak terlalu mencolok. Meski begitu, saya cukup nyaman tinggal di rumah saya.

Rumah saya terdiri dari dua lantai. Sebagian besar kegiatan dilakukan di lantai bawah. Lantai bawah terdiri atas ruang tamu, ruang tengah, dua bilik kamar tidur, dapur, dan kamar mandi. Sedangkan lantai atas terdiri dari sebuah ruangan terbuka dan sebuah ruang tertutup. Ruang terbuka biasanya digunakan untuk menjemur pakaian. Sedangkan ruang tertutup digunakan sebagai tempat salat dan tempat peletakan komputer.

Begitulah kiranya deskripsi tentang rumah saya. Masih banyak hal di rumah saya yang belum sempat saya sampaikan di sini. Apabila ada kesalahan kata, ketikan, ejaan, dan kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar, saya mohon maaf.

[+/-] Cekidot...

Jumat, 26 Agustus 2011

Paradoks Cinta: Sajak Terdiam

Kuharap bersamamu tak hanya jadi harapan.


Aku ingin mengambil sepotong senja

dan kuberikan untukmu

Aku terdiam, mengajak batu bicara

Engkaukah yang telah menyembunyikan suaraku?

Aku berpaling padamu lagi, kau tersenyum

Adakah kata-kata indah yang dapat kuberikan padamu?



Aku menatap sepotong senja yang tak suka menunggu

kawanan camar, nyiur hijau, deru ombak, langit biru.

Maaf sayang, aku lupa menatap waktu.

Aku terlalu sibuk menirukan gema suaraku. Entah apa itu?


Lama-lama pikiranku menjadi semakin gila

Senja yang tadinya penuh merah di pucuk cakrawala

tiba-tiba bolong begitu saja

Batu yang tadi terdiam saat ku ajak bicara

malah menyeringai menantang mata

Dan kau beranjak seakan mengikuti

kemana senja pergi

Langit menertawakanku, brengsek! Kataku.

Senja telah hilang sebelum aku menyadari engkau

telah raib ditelan tikungan.


Adakah dinding yang menghalangiku memelukmu,

sehingga tubuh hanya terpaku.

Adakah cahaya di bola matamu,

yang memerahkan mataku, merindukan ingatanku

Rindu tinggal rindu saat kau datang padaku

hanya untuk melihatku membisu.


Aku ingin mengambil seiris bulan

sebelum waktu tercebur ke dalam hanyut ingatan

sebelum bintang-bintang berguguran

di ranum pipimu, di cedera lukamu.


Sementara langit hanya hitam, setelah senja pergi

menemui dunia yang kita sendiri tak ketahui

Lalu rinduku bias oleh kilau cahaya bulan di sudut lautan

Saat pelukanmu menyadarkan lamunan yang memakuku.

Aku seakan menemukan suaraku kembali, mengatakan

sebuah frasa yang aku tak tahu apakah kau masih sudi mendengarkan.

Frasa yang klise, frasa yang cuma klausa

Frasa yang mungkin cuma paradoks cinta yang tak berkesudahan.

Kau tahu kan?


Ini adalah awal, dari sebuah akhir.

Namun ku tak tahu mana awalku mana akhirku

Atau akhirku hanya permulaanku?

Ah, cintaku. Rinduku kepadamu hanya membuatku semakin membenci waktu.

Aku ingin pulang saja, senja, matamu sudah minus delapan sepertinya.


***


Ups! Rupanya bulan mengintip pesan yang terselip

di sudut akhir puisiku,


Aku ingin melihat bulan cemburu

melihat engkau bersinar di hatiku.



(8-9-2011)


[+/-] Cekidot...

Kamis, 21 April 2011

Tiga Tahun di Bawah Kibaran Putih Biru

For: My Bestest Friend

Satu hari. Saatnya mengganti yang lama dengan yang baru.
Kulupakan sejenak kenangan masa-masa sd walau nanti pasti teringat lagi.
Saatnya mengenakan seragam baru, putih biru.
Kuharap langit masih biru saat pertama kali menjejakkan kaki di kelas baru.
Kuharap seekor kupu-kupu melintas di depanku, hinggap di jemariku
Untuk sekedar mengingat manis senyummu.
Kemanakah kau pergi saat aku sedang bingung akan kemanakah aku?

Satu bulan, seperti sudah berbulan-bulan aku di sini.
Awal yang biasa-biasa saja, tak ada kesan di hati
Hari-hari kulewati hampir tanpa senyuman sekalipun dengan muka sendiri.
Namun paling tidak aku masih bisa mengingat wajahmu.
Sehingga aku dapat meminjam senyummu, lalu kukenakan ke mukaku.
Tentu saja, itu senyum palsu.
Semoga kau tidak marah atas segala tingkah lakuku.

Ah, sudah lama benar aku kehilangan senyumku.

Satu tahun. Ini tahun kedua aku disini.
Kugeledah ruang-ruang dalam tasku yang penuh berisi kenangan kelas tujuh.
Lalu kurangkum semua, kuawetkan semua dalam kristal mataku.
Namun, tak semua menjadi kenangan indah yang tak terlupakan dalam ingatan
Lagi-lagi aku tak melihatmu. Dimanakah kau
cintaku? Mungkinkah ini seperti sajak penyairku,
Chairil Anwar, “Cintaku Jauh di Pulau”?
Ya, mungkin saja. Bedanya, hanya waktu dan diriku yang membuatku
jauh dari engkau.

Tiga tahun. Telah tiga tahun aku di bawah kibaran putih biru.
Akhirnya kutemukan kembali senyumku bersemayam dalam hangat senyummu.
Namun, mengapa bangku sekolah begitu benci melihat kita bertemu?
Mengapa waktu begitu cepat berlalu sebelum aku sempat menatap matamu?

Tiga tahun. Telah tiga tahun aku di bawah kibaran putih biru.
Kuharap langit masih biru saat aku harus berpisah denganmu....

(19-4-2011)

[+/-] Cekidot...

Gitar Kecilku

Kutemukan diriku dalam senar-senarmu, gitar kecilku
Dalam bait-bait lagu dalam petikanmu.

Aku berusaha belajar untuk mengerti
Namun sampai kini jemariku masih gagap memainkanmu
Sudah begitu lama, dan entah berapa lama lagi
Rindu ini terus terjaga, rindu akan suara merdumu

Kutabung semua mimpiku dalam kotak resonansimu, gitar kecilku
Gubahlah menjadi sebuah lagu
Supaya kita dapat bernyanyi bersama saat hati sedang pilu

Kuikat rambutku pada senar-senarmu yang putus, kalau perlu,
Kukristalkan airmataku.
Supaya rindu dapat menyublim dari hatiku.

Gitar kecilku, simpanlah baik-baik puisiku
Simpan, simpanlah dan kenang aku
Kalau sampai waktuku aku tak jua bisa memainkanmu

(17-4-11)

[+/-] Cekidot...

Kamis, 14 April 2011

AKU TAK INGIN BANGUN BESOK PAGI

Engkau datang malam ini
Sebelum aku siap merapikan kata-kata
untuk menyambutmu di sini
Kau bawakan aku kebahagiaan, kau berikan senyummu padaku
Hingga ku sejenak melupakan sejuta ketidakpastian di benakku
Serta sebuah pertanyaan,
Apakah suatu saat kita bisa bersatu?

Engkau datang malam ini
Menghiasi hidupku yang sunyi
Menghapus air mata yang tercecer di pelataran mimpi
Memecah belah rindu yang sebelumnya tak terbagi
Sehingga seakan waktu tak ada lagi di sini

Bintang-bintang jatuh bertaburan menaburkan harapan
Bulan sabit mungil membawa ketenangan
Angin lalu berbisik padaku,
“Suatu saat kau akan tahu apa kataku.”
Lalu aku berkali-kali mengucapkan kata yang tak pernah terucap kepadamu.

Hanya puisi sederhana ini
Yang menjadi saksi pertemuan malam ini
Semestinya aku tahu semua ini hanya mimpi
Dan kau sesungguhnya tak benar-benar berada di sini
Kau pun pasti akan segera pergi
Dan kembali meninggalkanku sendiri

Aku tak ingin bangun besok pagi.
Aku ingin selalu bersamamu di sini.
Tak peduli kemana waktu mengajak kita pergi.
Hingga kenyataan terhapus oleh imajinasi

Kutulis semua perasaanku dalam butir-butir kalimat sederhana ini
Berharap kau ikut bersamaku terbang jauh mengarungi angkasa mimpi
Memetik bintang yang sempat melintas dan jatuh di pelupuk matamu
Lalu kugantungkan di hatiku yang gelap dan berdebu.

Engkaulah mimpiku
Yang datang dalam tidurku malam ini
Membuat aku,
Mengulangi kata-kata yang tak pernah terucap kepadamu
Hingga suatu saat, kau akan tahu apa kataku.

Ah, aku tak ingin bangun besok pagi!


(10-04-11)

[+/-] Cekidot...

Minggu, 03 April 2011

Kau, Puisiku

Aku di sini, berlindung di bawah pohon randu
Menunggu kapuk-kapuk bertebaran di teras rindu
Menunggu kemarau menghapus hujan dan awan kelabu


Hujan dan rindu aku tabung jadi satu di pelupuk mataku
Namun hujan tak kunjung reda, rindu tak kunjung berlalu
Hingga tak ada tempat untuk airmata membanjiri pipiku

Sampai kapan ini kan terus seperti ini,
Sementara kata-kataku sudah hampir habis untuk menulis puisi?
Di perlintasan mimpi aku masih setia menanti
Akankah engkau datang memberi warna dalam hidupku yang kosong tak berisi?

Hidup hanya seperti jam dinding yang tak bosan menghitung waktu
Sampai akhirnya pada suatu waktu jarum jam ‘kan berhenti
Mengakhiri kisah hidupku yang fana tanpamu
Yang sungguh begitu menyiksa batinku kini dan nanti

Aku bukan karang yang tetap tegar walau dihajar ombak di lautan
Aku bukan binatang jalang yang tetap meradang menerjang
Walaupun peluru menembus kulitnya

Aku tak bisa menjanjikan apa-apa untukmu
Namun satu hal yang pasti
Cintaku tulus padamu
Sekarang dan sampai aku mati

Puisi ini masih setengah jadi,
namun mesti aku akhiri sampai di sini
Bila kita tak bisa selalu bersama sampai nanti
Maka ‘kan kukenang engkau sebagai judul puisi ini....

(3-4-11)

[+/-] Cekidot...

Minggu, 20 Maret 2011

Kado Ultah Buat Tama

Hehehe... masih ingat dengan Tama? Udah lupa pastinya. Itu lho… Tama anak Mak Martini yang kerjanya ngelamuuun… aja. Sekarang nih ceritanya si Tama udah dapet job (idih... job). Pekerjaan maksudnya. Walaupun masih freelance atau pekerja lepas, tapi lumayan lah... dikit-dikit dapet duit. Itung-itung buat biaya sekolahnya yang sempet semrawut gara-gara kebiasaan ngelamunnya itu. En, gimana kabar Mak Martini? Baik-baik aja kok. Masih cerewet kayak dulu. Walaupun intensitas kecerewetannya nggak setinggi dulu. Yuk, langsung cekidot...

Udah 2 jam berlalu ketika Tama masih saja duduk termangu di depan tong sampah yang terletak di depan sekolahnya, SMP Pancasila.
“Aduuuh...... nih orang lama banget ditungguin juga!” ujar Tama kesal dalam hatinya. Padahal sekolah sudah sepi, namun ia tak henti mondar-mandir gelisah. Ia menunggu seseorang. Akhirnya seseorang itu muncul juga dari dalam sekolah. Seseorang yang item,dekil,bau, parah deh pokoknya! Dia Otong, teman sekelas Tama.
“Lama banget sih lu!”
“Tunggu bentar napa? Nggak tau apa temen lagi susah! Bantuin kek, malah marah-marah!” Otong balik ngomel.
“Ya deh... lagian, siapa suruh ngegodain cewek itu. Siapa tuh namanya? Lupa gue. Udah tau cewek itu jago karate.”
“Iya deh... Namanya juga usaha Tam, biar muka pas-pasan gini kan siapa tau ada yang mau.”
“Alah... biar dikayangapain juga nggak bakalan mau dia. Hahaha... Sakit? Tadi mana yang kena tendang? Kasihan... sampe nyebur ke kali ya?” Ledek Tama.
“Alaaah... lu mah! Kalo nggak karena gue juga lu nggak bakal jadi kayak gini.”
“Ya deh, ya deh... gue kan cuma bercanda Tong, hehehe... sini, aku anter ke rumahmu!”
Lalu dengan jalan yang terpincang-pincang setelah kakinya kena tendang oleh cewek yang barusan ia godain, Romlah, Otong pun membonceng sepeda ontel milik Tama dan menuju ke rumahnya. Mukanya yang imut (item mutlak!) jadi tambah semrawut setelah nyemplung ke kali di belakang sekolahnya.
Sekitar setengah kilometer jauhnya akhirnya sampai juga ke rumah Otong yang terletak di sebuah gang sempit dengan latar belakang sawah yang cukup luas. Ini namanya desa Setengahkilo (apaan..... ). Apa aja boleh... hehehe....
Desa Setengahkilo nggak jauh-jauh juga kok dari desa tempat Tama tinggal. Ya kira-kira setengahkilo lah jauhnya dari sana.
Otong segera masuk ke rumahnya bersama Tama. Namun setelah Tama sampai di depan pintu Tama teringat sesuatu yang membuatnya kemudian berpamitan dengan Otong.
“Eh, cepet banget? Main sini dulu napa?” cegah Otong.
“Sorry Tong, lain kali aja mainnya, ada urusan penting nih!” lalu Tama segera mengayuh sepedanya dan pergi meninggalkan rumah Otong. Demikian cepatnya Tama mengayuh sepeda ontel kesayangannya itu sampai-sampai ia mungkin tak mendengar deru kendaraan yang lalu lalang. Dan, tahukah apa urusan penting Tama itu? Kebelet pipis.
Kenapa kebelet pipis saja harus jauh-jauh ke rumahnya? Bukannya di rumah Otong juga ada kamar kecilnya?
Begini saudara-saudara. Utama sudah kapok masuk kamar kecil rumah Otong. Percaya nggak percaya, kamar kecil (atau kita sebut jamban aja deh...) yang berada tak jauh dari belakang rumah Otong itu angker, banyak hantunya. Pernah pada suatu malam, malam Jum’at kliwon lagi, ketika Tama main ke rumah Otong dan kebelet pipis di sana, pertama dan terakhir kali Tama pipis di jamban itu. Kenapa? Karena sewaktu Tama pipis di situ, Tama merasa aneh.... sehingga ia meminta Otong menemaninya di luar jamban. Apalagi jamban itu gelap dan baunya... jangan ditanya deh...
Lalu Tama mencium bau sesuatu yang khas, seperti bau kemenyan, bau pete, ada pesing-pesingnya dikit, yang berasal dari atas jamban yang terbuka itu. Di atas jamban memang ada pohon pete, tapi masa ada bau kemenyan, pesing lagi! Masa iya ada orang pipis di atas pohon pete?
“Tong, lu kencing ya?”
“Heh? Apaan... bukannya lu yang kencing Tam?” bantah Otong
“Eh, aku belum sempet buka celana, kok udah pesing duluan?”
“Lu gimana sih Tam? Mana ada jamban wangi?”
“Mana ada jamban bau kemenyan?” debat Tama kemudian.
“Mana ada?” Otong setengah tak percaya.
Lalu sementara dua anak itu berdebat tentang bau di jamban itu, tiba-tiba Tama merasa diguyur sesuatu yang... yang... bau pesing! Seperti air kencing! Dan saat itu pula bulu kuduk Tama jadi merinding... Karena penasaran, Tama pun mendongak ke atas melihat apa yang sebenarnya terjadi. Dan....
“T-tong,Tong.... ad-ada, g-gen,gen,gen...” kata Tama dengan terbata-bata.
“Ada apaan? Gentong?” ujar Otong sok tahu.
“Bukan! Gen...”
“Genteng!”
“Salah! Gen... Gen...”
“Ah! Aku tahu sekarang! Gendang!”
“Ah! Kelamaan lu! Ada genderuwo lagi pipis tau!” ujar Tama kesal hingga ia tidak gagap lagi.
“Oh, genderuwo... bilang dong dari tadi...” kata Otong tanpa sadar. Setelah itu ia sadar akan apa yang Tama katakan tadi, “Eh, tadi apa lu bilang? Genderuwo?”
“Iya,tuh!” kata Tama sambil menunjuk ke atas, ke arah pohon pete.
“Hah? Di kepala ada rambut, cabuuuut!!!!!!!” Teriak Otong meninggalkan Tama sendirian di situ. Udah ketakutan masih sempat-sempatnya berpantun.
“Eh, tungguin dong!” seru Tama sambil menarik resleting celananya yang setengah terbuka. Padahal ia tadi belum sempat pipis. Hal yang buruk pun terjadi. Kakinya gemetar dan tidak bisa dipakai berlari. Sehingga ia pun terpaksa pipis di celananya. Haduh... payah...
“Awas lu Tong!” ancam Tama.
Nah, gitu ceritanya sampai-sampai Tama tidak lagi berani pipis di rumah Otong. Soalnya takut dipipisin lagi sama genderuwo penunggu pohon pete itu. Apalagi malam ini juga malam Jum’at Kliwon, hi....
Kembali ke masa kini, singkat cerita Tama sudah sampai di rumahnya.
Karena sudah tidak tahan lagi, Tama pun bergegas menuju ke kamar kecil di belakang rumahnya. Sesudah menunaikan hajatnya, Tama pun kembali masuk ke kamarnya. Ia membuka tas sekolahnya. Ia terkejut karena terdapat kado warna biru beserta kartu ucapan di atasnya. Tama membaca kartu ucapan itu kemudian:
Buat orang yang sepantasnya dapatkan ini
Dari orang yang sangat dekat tapi sangat jauh darimu
Eh, tapi sebelum Tama membuka isinya, ada seseorang yang mengetuk pintu depan rumah Tama.
“Assalamualaikum, Tama! Tama!” seru seseorang yang mengetuk pintu tadi.
“Kok kaya suara Otong? Ah, ada apa lagi sih tuh anak?” gumam Tama dalam hati.
Lalu Tama pun membuka pintu. Dilihatnya Otong yang masih ngos-ngosan mengejar-ngejar Tama dari Desa Setengahkilo sampai Desa Sukamakan. Kenapa nggak pakai sepeda sih? Dilihat dari raut mukanya, Otong terlihat takut campur tegang.
“Ada apa Tong?” tanya Tama kemudian.
“Tam, lu terima kado yang warnanya biru nggak?”
“Kado yang mana? Oh, iya! Yang itu! Sebentar,sebentar.” Lalu Tama bergegas menuju ke kamarnya untuk mengambil kado misterius tadi.
“Ini?” tanya Tama sambil menyodorkan kado tersebut pada Otong.
“Iya, ini. Betul!” lalu Otong merogoh saku celananya untuk mengambil hape bututnya. “Halo? Iya Pak! Sudah, sudah ditemukan. Oh, baik Pak!” Otong menelepon seseorang entah siapa.
“Lu apa-apaan sih Tong? Ini kan cuma kado!” kata Tama heran atas tingkah laku Otong.
“Lu tahu isi kotak kado ini apa?”
“Emang apaan Tong?”
“Ini bom!”
“Apa?????” ujar Tama kaget bercampur heran. Mana mungkin seseorang seperti Tama yang nggak punya salah apa-apa diteror bom? Lagipula, bagaimana Otong tahu isi kotak itu adalah bom?
“Jangan main-main lu Tong!”
“Gue nggak main-main! Tadi gue ditelpon intel yang katanya sedang mencari teroris yang berkeliaran di Desa ini! Desa Sukamakan! Dan katanya si teroris meninggalkan sebuah bom yang dibungkus di sebuah kotak kado warna biru.” kata Otong menjelaskan.
“Ah, masa?” Tama masih belum percaya. Ada sesuatu yang janggal dari keterangan Otong tadi. Bagaimana mungkin teroris masuk ke rumahnya dan meninggalkan bom itu di dalam tasnya tanpa ada jejak apapun? Lagipula, masa kejadiannya bisa secepat itu? Lalu ia pun mencoba membuka amplop itu. Namun tidak jadi karena dicegah Otong.
“Jangan dibuka! Ntar meledak!” kata Otong dengan ekspresi agak lebay.
“Alah,lu apaan sih?” lalu SREEET! Robeklah bagian atas kado itu. Lalu Otong berteriak keras. “Satu,Dua,Tiga!!!!”
“Serbuuuuu....!!!!!” dari samping kiri dan kanan serta semak-semak rumah Tama muncullah lima serdadu tempur yang hendak menyerang Tama. Bukan serdadu beneran sih... senjatanya aja ada yang pake telur busuk, tepung, air sebaskom, dan macem-macem deh pokoknya. Namun Tama berhasil menghindari serangan tiba-tiba itu dengan menjadikan Otong sebagai tamengnya. Sialnya, Otong jadi bulan-bulanan serangan kombinasi itu.
“Aduuuh..... Woy! Kenapa aku yang diserang sih? Ini kan nggak sesuai skenario!” bentak Otong kesal kepada lima orang serdadu yang tak lain dan tak bukan adalah teman sekolah Tama dan Otong.
“Cut,cut,cut! Mana ekspresinya???!” muncullah sosok lain di balik kelima anak itu. Dia Alfredo Jumantono alias Apet, sutradara dari penyerangan terhadap Tama.
“Tong! Bagus Tong, bagus. Ekspresinya dapet!” katanya kepada Otong.
“Dapet apaan? Dapet bau sama kotornya iya...” kata Otong dengan raut muka kesal.
Lalu serempak mereka tertawa kecuali Otong.
“Kalian sebenarnya pada ngapain sih kesini?” tanya Tama masih bingung dengan suasana itu.
“Alah, lu pura-pura nggak tahu Tam.” kata Apet.
“Apaan?”
Lalu dari belakang Apet muncul teman-teman Tama yang lainnya membawa kue tart yang ditujukan untuk Tama. Mereka pun kompak menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk Tama. Setelah kue sampai di depan Tama, semua diam.
“Liat tuh, yang bawa kue siapa? Cye....” bisik Otong kepada Tama.
“Luna?” kata Tama lirih.
“Tam, happy birthday ya.....” kata Luna sambil tersenyum-senyum malu.
“Cye...., Tam, sikat!” bisik Otong lagi di samping Tama.
“Apaan sih lu Tong! Eh, iya Lun, thanks ya kuenya, jadi ngrepotin nih,”
“Udah, nggak apa-apa. Harusnya aku yang minta maaf karena udah bikin halaman rumahmu kotor begini.”
“Cut! Cut! Perfect! Ini baru perfect!” seru Apet masih bertingkah seperti sutradara saja. Maklum, obsesinya emang begitu.
“Heh,heh,udah, jadi sutradaranya udah...” kata Dodi teman disampingnya.
“Ya udah, gimana kalo sekarang kita makan kue ini bersama?” ajak Tama kepada teman-teman lainnya.
Lalu Tama meniup lilin di atas kue ulang tahun itu. Semua anak bertepuk tangan dan bersorak gembira. Setelah itu, Tama dibantu Luna memotong-motong kue itu dan membagi-bagikannya kepada teman-teman yang lainnya. Otong masih terlihat kesal karena cuma dia yang bajunya paling kotor gara-gara insiden tadi.
Mereka pun berpesta sampai sore. Sebuah pesta yang tak pernah diduga oleh Tama, apalagi dengan hadirnya Luna, sahabat Tama yang sebenarnya ia sukai, namun Tama tak kunjung berani mengatakannya kepada Luna.
Perlu diketahui, bahwa Luna lah yang sebenarnya menyusun skenario ini. Mereka berkumpul sepulang sekolah di belakang sekolah, di bawah pohon sawo yang terletak di tepian kali. Itulah sebabnya Tama tadi siang menunggu Otong lama sekali. Tapi, di sini peran Otong penting sekali. Tanpa Otong, mungkin pestanya jadi berantakan. Walaupun Otong harus menerima berbagai cobaan.
Sebenarnya tadinya pesta akan diadakan di rumah Otong. Tapi berhubung Tama cepat-cepat ingin pulang, Otong menyerukan perubahan rencana kepada yang lainnya. Dan Otong pun terpaksa harus mengejar Tama ke rumahnya. Aneh memang. Kenapa nggak pakai sepeda aja kalo emang jarak desanya ke desa Tama sejauh setengahkilo? Bukannya lebih cepat? Ternyata ini jawaban Otong: nggak punya sepeda.
“Ohh... jadi gitu ceritanya sampai Otong ngarang cerita ada bom segala? Pantesan tadi pas pulang sekolah ditungguin lama banget. Oh, iya, kadonya tadi mana?” salah seorang teman lalu menunjukkan letak kado warna biru itu. ”Ini isinya beneran kan, Lun? Bukan bom kan?” tanya Tama kemudian.
“Hehehe....,iya beneran. Buka deh, isinya apa.” jawab Luna.
“Hah? Ini kan...”
“Itu bukumu kan?”
“Iya, ini bukuku yang sempat hilang dari minggu lalu. Padahal ini buku penting buat bahan artikel majalah nanti. Thanks banget ya, Luna. Kamu memang sobatku yang paling baik!” ketika mereka hampir saling berpelukan, Mak Martini muncul dari dalam rumah.
“Eh, acara apaan ini?! Bubar, bubar! Ngganggu orang lagi tidur aja!” bentaknya.
Pesta selesai. Teman-teman Tama pun bergegas pergi. Menyisakan Tama yang terpaksa harus membersihkan halaman rumahnya sendiri. Dari kejauhan tampak Luna tersenyum sambil melambaikan tangan kepadanya. Ketika Tama hendak membalas lambaian tangan Luna, Mak Martini kembali ngomel-ngomel,
“Tama! Bersihin dulu halamannya sampai bener-bener bersih! Siapa suruh bikin pesta-pestaan di sini! Dasar!”
“Iya,iya Mak...” kata Tama sambil menggerutu di dalam hatinya. Namun ia merasa bahagia sekali sore itu.

TAMAT
(17-03-11)

[+/-] Cekidot...

Senin, 07 Februari 2011

SEBAIT RINDU DI ISTANA YANG KESEPIAN

Buku,alat tulis,siap. Pakaian rapi. Mandi sudah. Telepon genggam? Biarlah tidur di rumah. Capek. Malam ini seperti biasa aku berangkat kerja. Sebenarnya cuma kerja sambilan sih. Bisa dibilang kurang kerjaan. Hmmm….

Jadi wartawan, kalau ini bisa dibilang wartawan. Yah… mau gimana lagi? Wartawan amatiran. Kerjanya sehari-hari cuma dikerjain kerjaan. Mengisi waktu luang tapi perut tak pernah kenyang. Ah, kalau dipikir-pikir ngapain juga aku jadi wartawan. Padahal aku sama sekali nggak pernah berpikir untuk jadi wartawan. Tapi justru itu yang membuatku sering kepikiran.
Sudah sejam. Ah, lama juga aku dandan. Tapi kok nggak cakep-cakep juga ya? Sering aku ingin menggampar cermin yang berdiri tegak di depanku. Cermin yang seakan selalu mengejekku saat aku berdiri di hadapannya. Cermin yang sering menipuku, membodohiku, dan kadang-kadang juga membuka semua aibku. Lalu, tanpa kusadar, cermin itu telah membius mataku sampai aku tak dapat berdaya lagi di hadapannya.
Baiklah, semua oke. Huh, di luar hujan. Aku nekat pergi ke rumahmu. Rupanya tak begitu dekat. Namun juga tak terlalu jauh dari hatiku. Rumahmu besar juga. Lebih mirip istana daripada sebuah rumah. Karena rumahmu terlalu indah kalau hanya sekedar disebut sebuah rumah. Terlalu cantik bila harus dilukiskan dengan kata-kata. Kau memang suka keindahan. Tidak sepertiku. Kamarku hampir setiap hari tak pernah bisa lepas dari kata jorok, berantakan, kotor, dan sebangsanya.
Sesampainya di depan pintu, aku jadi ragu.
Akhirnya kuputuskan untuk mengetuk pintu. Tapi belum sempat jari-jemariku mengetuk pintu, aku mendengar suara yang sangat kukenal dari sampingku. Aku menoleh. Ternyata kau!
“Hai,tumben mampir. Darimana kau tahu rumahku? Wah, kehujanan ya? Kedinginan? Bajumu basah. Ayo masuk. Nggak usah sungkan, anggap saja rumah sendiri. Aku ke belakang dulu. Kubawakan handuk dan segelas teh hangat untukmu.” katamu bertubi-tubi dengan wajah berseri-seri. Seperti sudah sepuluh tahun tidak pernah bertemu. Senyummu pun turut menghiasi wajahmu. Ah, aku tak mampu melawan senyum manismu. Seandainya saja aku bukan wartawan. Saat itu kumaki diriku sendiri. Kenapa aku tak datang kesini sebagai diriku sendiri?
Pelan-pelan kau buka pintu depan rumahmu. Lalu mempersilahkanku duduk di kursi tamu sementara kau ke belakang seperti yang kau katakan tadi. Ternyata aku salah mengira tentang bagian dalam rumahmu. Rumahmu begitu sederhana. Tak ada barang-barang yang punya nilai jual tinggi di pasaran. Tidak ada gemerlap hiasan lampu yang menyilaukan mataku. Semua serba sederhana. Tapi ini sudah lebih dari cukup untuk dikatakan indah bagiku.
Hanya satu hal yang kurang dari rumah ini….
Keramaian. Ya, hanya itu. Karena rumah ini begitu sepi. Aku berpikir bagaimana kau dapat hidup di rumah seluas ini seorang diri? Aku tak tahu kenapa. Maka dari itu aku ingin menanyakannya kepadamu setelah kau kembali.
Tak lama kemudian kau pun kembali. Lalu aku mengatakan sesuatu kepadamu.
“Maafkan aku, dia tidak disini. Aku hanya seorang wartawan amatiran yang tersesat jauh di hatimu. Karena itu, aku ingin menanyakan beberapa hal kepadamu. Semoga saja suatu saat kalau dia sudah siap, dia akan datang kesini. Bolehkah aku bertanya?”
“Oh,begitu. Baiklah, mau tanya tentang apa?”
“Kau benar-benar sendirian tinggal di rumah ini?”
“Sendirian? Itu relatif. Jawabannya ya dan tidak.”
“Maksudnya?”
“Ya, karena seperti yang kau lihat, aku sendirian tinggal di rumah ini. Tapi juga bisa dibilang, aku tidak sendirian, karena ada sesuatu yang selalu menemani kesendirianku.”
“Sesuatu? Sesuatu apa itu?”
“Kau mau tahu? Sini, akan kutunjukan sesuatu itu padamu.”
Lalu kau raih tanganmu. Ah! Hampir jatuh aku saking gugupnya. Ruangan demi ruangan dilalui. Tidak ada yang istimewa kecuali hamparan foto-fotomu yang memenuhi dinding sampai ke sudut ruangan. Hi…. Aku kok jadi takut melihat foto-foto itu seakan menatapku, mengawasiku, mengintimidasiku, seakan tak memperbolehkanku masuk ruangan-ruangan dalam rumahmu. Foto-foto yang sama sekali tidak kukenal, namun pernah sesekali kulihat dalam mimpiku.
“Hei, tanganmu gemetar. Jangan takut, memang beginilah rumahku,” katamu yang masih menggandeng tanganku.
“Eh, kau sendiri tidak takut?”
“Kenapa mesti takut? Merekalah yang menemani kesendirianku di sini.”
Begitukah? Hal itu adalah ketakutan bagiku. Namun tidak bagimu. Aku benar-benar tidak percaya kau bisa hidup dengan kondisi seperti ini. Aku jadi semakin penasaran dengan perasaanmu yang sebenarnya akan hal ini. Mungkinkah ada sesuatu yang sengaja kau sembunyikan dariku?
“Tapi sebenarnya…. Aku memang kesepian. Tidak ada di antara mereka yang benar-benar dapat menghiburku. Hanya satu yang bisa sekedar melepas rinduku kepada “dia”. Sayang, dia tak di sini. Hanya ada kau. Sini, aku tunjukkan.” Lalu kita lanjut jalan ke kamarmu. Tidak seperti ruangan yang lain, tidak ada foto memenuhi dinding kamarmu. Kemudian kau membuka laci lemari di samping kasur, dan memperlihatkan selembar foto kepadaku.
Hah? Foto itu, wajah yang sering kulihat di depan cermin tempat ku biasa bercermin. Wajahku! Benarkah itu aku? Sesaat aku tidak mempercayai penglihatanku. Lalu aku kucek-kucek mataku dan memastikan kalau itu benar aku. Diriku sebelum memakai seragam wartawan amatiran ini.
Kita terdiam beberapa saat. Mulutku seakan terkunci oleh suatu hal entah apa hal itu. Begitu juga kau. Setelah kukumpulkan keberanianku beberapa saat kemudian aku pun angkat bicara,
“Hmmm….. Ya, aku mengerti, itu fotonya. Foto diriku yang lain. Aku tahu yang kau tunggu sebenarnya bukan aku yang seperti sekarang ini. Tapi aku yang dulu. Aku tahu…”
“Sampaikan salamku kepadanya, aku sudah sangat rindu….”
Begitu pula aku. Tapi diriku juga yang telah membuat sandiwara konyol ini. Lalu airmatamu leleh perlahan. Aku ingin segera keluar dari suasana ini. Aku tidak kuat melihatmu bersedih. Sebelum aku ikut larut dalam kesedihan, aku pamit pulang.
“Pasti aku sampaikan, tenang saja. Tapi aku harus pulang dulu. Semoga kau baik-baik saja setelah ini. Jangan bersedih lagi….”
Lalu kau mengantarku sampai ke teras rumah. Setelah beberapa langkah aku menoleh kepadamu. Kulihat kau melambaikan tangan dengan tersenyum ke arahku. Senyum yang berbeda dengan saat ku baru tiba. Senyum yang penuh kesedihan.
Aku kembali memantapkan langkahku. Aku takkan lagi membuatmu resah menanti. Akan kupegang teguh janjiku ini.
***



Malam tinggal sisa. Hujan lebat tadi malam tidak lagi terdengar deraunya. Mengapa waktu begitu kanibal? Mengapa waktu begitu lekas melahap malam yang berisi begitu banyak kenangan dan dengan teganya hanya menyisakanku sedikit ingatan?
Aku tidur nyenyak sekali malam tadi. Aku bermimpi kau datang ke rumahku. Aku bahagia karena kau mau datang. Namun aku juga sedih karena yang datang ternyata bukan kau.
Sampai kapan kau akan datang?
Rumah yang kaulihat dari mimpiku itu adalah cerminan perasaanku, cerminan hatiku. Rumah itu juga kesepian, sepertiku yang resah menantimu. Dan selalu, setiap aku berusaha menahan rinduku kepadamu, semakin kuat keinginanku untuk bertemu denganmu.
Kamarku adalah lubuk hatiku yang paling dalam. Seperti yang kau lihat, aku masih seperti dulu. Masih kosong. Karena tak ada yang berhak menempati ruangan itu selain kau. Dan hanya kita yang dapat menempati rumah kita, istana kita. Istana yang sampai sekarang masih kesepian.
Telepon genggam berbunyi. Ada pesan masuk, rupanya dari kau. Lalu kubaca, isinya singkat saja:
Aku akan segera datang, tunggu aku di istanamu malam ini
Jantungku berdegup keras. Tubuhku gemetar sampai aku takut tak bisa mendengar suaraku sendiri. Aku ingin berteriak, tapi tidak bisa untuk saat ini. Semoga saja kau benar. Ketika saat itu tiba, aku takkan melepasmu lagi. Sudah seharusnya kita selalu bersama.
Ah! Kata-kata sudah menyerah membicarakan perasaanku saat ini!
***TAMAT***
31-12-10

[+/-] Cekidot...

Kamis, 03 Februari 2011

SANG PELAMUN

Jam menunjukkan pukul 06.33.
Ah….,pagi yang cerah di desa Sukamakan. Kenapa dinamakan desa Sukamakan? Itu mungkin karena penduduknya pada suka makan kali ya? Atau emang nggak ada nama desa yang lebih pas buat cerita ini? Itu suka-suka pengarang. Kalau nggak suka, ya karang-karang aja sendiri,he…he…he…
Yang jelas ini desa letaknya di pinggiran kota. Dibilang terpencil, nggak, dibilang terkenal, juga nggak. Tapi walau gitu, desa ini bisa dibilang sama kayak suasana desa-desa yang lain. Aman, tenteram, damai, sejahtera. Dan yang paling penting, dari desa inilah cerita ini dimulai. Ini kelanjutan ceritanya.

Di sebuah rumah, terdengar suara seorang ibu-ibu yang dari tadi subuh udah teriak-teriak, ngomel-ngomel, bikin budek telinga orang-orang di sekitarnya. Siapa lagi kalau bukan Mak Martini. Hampir tiap pagi ia ngomel-ngomel begitu. Kenapa? Ya kenapa lagi kalau bukan buat ngebangunin anaknya. Sampai-sampai saking susahnya dibangunin, Mak Martini pun terpaksa pakai jurus pamungkas…..
Byuuuurrrrr…….!!!!!!!!
“Woy, banguuuuun!!!!!! Lu anak orang apa anak kebo sih!?” bentak Mak Martini sehabis mengguyur seember air ke anaknya. Sampai-sampai tak sadar kalau itu anaknya sendiri.
Yang dibentak dan diguyur gelagapan. Langsung bangun njenggirat dari kasurnya. Lalu ngucek-ngucek mata. Sambil mengumpulkan nyawa yang belum pada pulang semua, ia bertanya dengan emaknya,
“Mak, udah sampai mana?”
“Udah sampai kuburan!!!” sahut emaknya geram.
Eh, malah ngeloyor pergi. Padahal matanya sendiri masih setengah melek.
“Mau kemana lu?”
Tak ada jawaban.
“Woy!!!”
Tetap tak ada jawaban.
“WOOYYY…….,LU PUNYA KUPING NGGAK SIH….!!!!!” teriak Mak Martini sudah kehilangan kesabaran.
Udah dibentak begitu, tetep aja ia melangkah dengan sempoyongan. Sampai di mulut pintu,
Srekkkk, gubrakkkhght….!!!!
Dasar emang matanya masih merem melek, remang redup, ia nggak melihat di bawah ada ember penuh berisi air buat ngepel lantai emaknya tadi. Nasiiib….nasib, baru diguyur, kepleset, dibentak-bentak pula! Lengkap sudah penderitaannya,hmmm……
Dia Utama. Kenapa diberi nama Utama? Ya karena dia tokoh utama dalam cerita ini. Dia memang setiap pagi begitu. Kalau nggak, bisa kebablasan tidurnya. Utama sendiri masih sekolah. Sekolahnya di SMP Pancasila dan ia kini duduk di bangku kelas IX-Z (hehehe….,jangan protes ya). Setelah ia sudah menemukan kesadarannya secara utuh, ia berdiri dan melihat jam dinding.
“UWAAAAA……!!!!! Bisa telat kalo kayak gini!!!!”
Secepat kilat ia mandi, gosok gigi, pake baju, meraih tas, dan mengayuh sepeda dengan cepatnya. Sampai di sekolah, kalau terlambat sedetik saja bisa nggak boleh masuk kelas. Fuh, untung masih ada sedikit keberuntungan yang memihak kepadanya. Utama nggak telat, cuma……
“Stop! Siapa suruh masuk? Kamu itu, tiap hari tidak pernah benar ya,” tegur Pak Rusman, guru kelasnya.
“Lho Pak, saya kan nggak terlambat. Lagian, kurang apa lagi coba? Baju seragam ada, dasi ada, celana ada,”
“Iya, bapak tahu, tapi, lihat tuh, sepatu apa yang kamu pakai!”
Utama menunduk ke bawah, ia terkejut ketika yang ia pakai sandal bakyak emaknya.
Serempak sekelas tertawa.
“Diam! Utama, kamu dilarang masuk kelas sampai bel istirahat!”
Suasana kelas kembali tenang. Utama sendirian menunggu di depan kelas sampai bel istirahat.
Sepulang sekolah, seperti adatnya tiap hari, Utama yang biasa dipanggil Tama ini menuju ke tempat biasa ia nongkrong. Di sebuah pohon sawo yang rindang dan banyak buah sawonya.Di tepi kali yang coklat warnanya. Di belakang gedung sekolahnya yang bisa dibilang biasa-biasa saja. Nggak ada unik-uniknya. Ia biasa kesini, duduk di bawah pohon sawo. Kadang-kadang manjat, kadang-kadang cuma duduk memandang ke kejauhan, kalau lapar, ia tinggal memetik buah sawo di atasnya. Lalu ia merogoh-rogoh tasnya. Mengambil sebuah buku kecil dari saku celananya.
Itu ia namai buku lamunan. Kenapa? Karena di situ ia menulis segala lamunannya, segala mimpinya,dan  segala impiannya. Dan di tempat itu, Utama biasa melaksanakan hobinya, yaitu melamun. Ia duduk santai, memandang ke kejauhan. Dimana ia temukan segala hal yang ia cita-citakan.
Dua belas tahun kemudian di Desa Sukamakan.
Sebuah mobil mercy merah barusan diparkir di depan sebuah rumah sederhana beratap seng dan bertembok batu-bata yang belum dicat semua. Kemudian muncul seseorang dari dalam mobil itu. Mulai dari jas, kacamata, baju, celana, sepatu, semuanya serba mahal dan mewah. Ia berjalan, melangkah pasti menuju rumah itu. Siapa dia?
Tak lain dan tak bukan, dia Utama. Baru saja ia pulang kampung setelah sukses merantau di kota besar. Dan kini ia ingin memperlihatkan kesuksesannya pada emaknya, yang sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Rasa kangennya tidak terbendung lagi. Ia ingin cepat-cepat bertemu emaknya.
Tok,tok,tok,
“Assalamu’alaikum,”
Belum ada jawaban. Rumah itu sepi sekali.
“Mak,mak?” panggil Tama.
Tetap tak ada jawaban.
Akhirnya Utama masuk, sambil berkali-kali memanggil-manggil emaknya. Tak lama kemudian, seorang wanita tua muncul dari belakang rumah. Dari gurat-gurat keriput di wajahnya, jelas ia sudah tua (nggak perlu dijelasin lagi kan?). Dialah Mak Martini, emaknya Utama.
“Mak, inget nggak?”
“Siapa lu?” tanya Mak Martini heran campur kaget campur bingung (campur apa lagi ya?).
“Mak lupa ya? Ini Utama, anak emak!”
“Utama? Bentar-bentar, biar diinget-inget dulu,”
“Lah, kan anak emak cuma satu, masa lupa?”
“UTAMAAAA……..!!!! KEMANA AJA SELAMA INI? BIKIN PUSING EMAK AJA LU!”
Lalu Utama berlari menuju emaknya. Bermaksud untuk memeluknya. Karena buru-buru, ia tidak melihat ada ember penuh air buat ngepel di depan kakinya. Sontak ia kesandung, dan……
Sreeekkk….,Braaakkk,Byuuurrr!!!!!!
Utama megap-megap. Ia pun tersadar dari lamunannya. Rupanya ia baru diguyur air oleh Otong, yang emang usil anaknya.
“Woy!!! Awas lu ya!” ancam Tama. Otong pun berlari. Dan Tama mengejarnya.
“Makanya, jangan suka ngelamun!”
“Emang kenapa? suka-suka gue dong!!! It’s not your trouble!
“Sakarepmu!!! Yang penting hepi…..”
“Woy, jangan lari lu!!!”
Tapi Otong lebih cepat larinya dibanding Tama. Akhirnya Tama pulang dengan perasaan kesal.
“Sialan! Kenapa kok kayaknya aku sial melulu!” umpatnya dalam hati.
Malam harinya, Tama kelihatan sibuk sekali mencari-cari buku lamunannya. Karena dicari-cari terus nggak ada, ia pun menyerah dan memilih duduk di kursi saja.
“Pasti gara-gara ngejar Otong tadi, tuh buku ketinggalan di bawah pohon sawo,” pikirnya.
Lama-lama ia jadi teringat masa lalunya. Masa saat bapaknya masih hidup. Ya, memang bapak Tama sudah meninggal sejak Tama duduk di kelas empat SD. Berbeda dengan anaknya yang pemalas dan suka ngelamun, beliau justru pekerja keras. Walau profesinya hanya sebagai kuli bangunan, tapi beliau bersusah payah membanting tulang demi mencukupi kebutuhan keluarganya secukup-cukupnya. Saking kerasnya bekerja, bapak Tama jadi lupa waktu. Beliau meninggal karena terjatuh dari atap gedung ketika sedang mengerjakan sebuah proyek bangunan. Saat hendak dibawa ke rumah sakit, nyawanya keburu melayang.
Utama merupakan anak laki-laki semata wayang dalam keluarganya. Bapaknya percaya dia akan jadi orang yang sukses, yang membanggakan buat keluarganya. Tapi, ia tipe anak yang nggak bisa diandalkan. Capek sedikit, males. Di sekolah juga nggak bisa dibilang murid berprestasi. Nilai akademisnya jarang ada di atas KKM sekolahnya. Tapi ia punya satu kelebihan.
Melamun, itu kelebihannya. Sudah nggak kehitung ide-ide gila yang muncul dari lamunannya itu. Mulai dari yang sepele sampe yang paling kontroversial. Sehingga teman-teman bahkan gurunya menganggap dia sudah gila. Dan lagi, ia selalu menentang arus. Tama selalu berbuat yang berlawanan dan berbeda dari teman-temannya. Ya pokoknya gitu deh, dia nggqk suka hal-hal yang biasa-biasa saja. Kalo ditanya cita-cita, ketika kebanyakan temannya ingin menjadi seorang yang hebat, apa itu polisi,tentara,pilot,dokter, dan lain-lain, ia malah menjawab,”Saya mau jadi bayi aja! Biar nggak pusing mikirin apa-apa,”
Malam ini, tak seperti biasanya, Utama begitu gelisah. Entah karena buku lamunannya yang hilang atau karena ia teringat kepada almarhum bapaknya. Saat bersama bapaknya ia begitu ceria. Tidak seperti sekarang. Kabar kematian bapaknya yang begitu mendadak benar-benar membuatnya terpukul. Tapi, tak ada yang bisa ia lakukan kecuali melamun.
“Pak, aku ini bisa apa? Seandainya bapak ada di sini, aku pasti……,” Tama tak melanjutkan kalimatnya. Karena seperti ada yang memanggilnya, jauh di lubuk hatinya.
“Tama, jadi laki-laki tu harus tegar. Jangan hanya bisa mengeluh dan berpangku tangan. Lakukan apa yang kamu bisa. Kalau kamu nggak bisa ini, kenapa nggak coba itu? Bapak yakin kamu bisa tanpa bapak…..”
Utama coba mengenali suara itu. Ia lalu sadar itu suara bapaknya.
“Bapak……..”
Bayangan bapaknya itu hanya tersenyum. Lambat laun bayangan itu memudar, dan akhirnya hilang sama sekali.
Tanpa sadar, air matanya leleh perlahan.
Sayang, itu hanya lamunannya lagi.

                JKKKJ

Keesokan harinya, ya kayak biasanya. Dioprak-oprak, dibentak-bentak oleh emaknya. Tapi Utama lebih semangat pagi ini. Entah kenapa, mungkin karena efek lamunannya tadi malam. Walaupun tetap harus dibangunkan emaknya, tumben pagi ini ia bisa melek tiga puluh menit dua puluh sembilan detik lebih pagi dari kemarin (hitung aja sendiri).
Utama pergi ke sekolah. Dan tumben ia pake seragam bener nggak kayak kemarin-kemarin. Pelajaran demi pelajaran dilalui. Lalu bel pulang sekolah pun berbunyi. Ini saat yang ia tunggu-tunggu. Apa lagi kalau bukan ke tempat biasa ia nongkrong, tempat biasa ia ngelamun, ya ke bawah pohon sawo tepi kali belakang sekolahnya.
Lalu ia pun jadi teringat sesuatu. Ia pernah meninggalkan buku lamunannya di bawah pohon sawo itu. Ia pun segera ke sana. Tapi alangkah kecewanya ia ketika melihat bukunya yang sangat berharga itu sudah tidak ada.
“Waduuuh……, kemana sih bukuku? kalo ilang bisa berabe nih! Huh!” kata Utama sambil sibuk mencari-cari bukunya di sekeliling pohon sawo yang rindang itu. Tapi ia dikagetkan oleh suara yang tak asing lagi didengarnya.
“Tuh, Pak, anaknya,” kata Otong kepada seorang bapak-bapak yang berada di sampingnya.
“Dik, kamu yang namanya Utama ya?” tanya bapak-bapak itu pada Utama.
Utama pun menoleh, ia agak terbata-bata menjawab, “Eh,ng….,iya Pak, ada apa ya?”
“Ini buku kamu?”
“Iya, kok Bapak bisa tahu?”
“Kenalkan, nama Bapak Anton. Bapak fotografer majalah Suara Siswa. Saat bapak lagi jalan-jalan dan mencari inspirasi untuk bahan jepretan, dan duduk di bawah pohon ini, tanpa sengaja bapak menemukan buku kecil ini. Saat dibuka dan bapak baca, isinya mengagumkan! Ide-ide yang tertulis disini kalau dikembangkan mungkin akan lebih bermanfaat. Bisa dibuat karya sastra bagus lho. Lalu bapak cari tahu siapa pemilik buku ini. Kebetulan ada Dik Otong lewat depan sini. Ternyata Dik Otong kenal baik sama kamu,Dik Tama. Bukan begitu Dik Otong?” kata Pak Anton yang kemudian menoleh ke arah Otong.
“Iya, aku ketemu Pak Anton tadi pagi. Trus kusuruh nunggu kamu sampe pulang sekolah. Soalnya kamu kan kalo pulang sekolah biasa ngelamun di sini,” tambah Otong membenarkan.
“Oh……..,” kata Tama tanda udah paham.
“Setelah membaca tulisan nak Tama ini, Bapak jadi kepikiran majalah tempat bapak bekerja. Kebetulan sekali sedang membutuhkan pengarang berbakat seperti Dik Tama ini. Mau kan? Jadi rekan bapak? Nanti bapak kenalkan dengan Pak Redaktur untuk mengurus semuanya.”
“Ah, Pak, saya ini memangnya siapa? Disuruh apa-apa aja nggak bisa,” kata Utama dengan nada pesimis.
“Nggak, Dik Tama memang jenius. Darimana adik bisa mendapatkan ide-ide itu?”
“Itu………, itu cuma lamunan-lamunan saya yang nggak kesampean, jadi ditulis di situ deh,”
“Bagaimana, Dik? Setuju?”
“Tapi….., gimana kalau saya pikir-pikir dulu Pak?”
“Ok, no problem, ini kartu nama saya. Kalau Dik Tama setuju, datang ke alamat ini,” kata Pak Anton sambil menyerahkan kartu namanya. Setelah itu, beliau pun bergegas pergi sambil terus-terusan menenteng kameranya.
“Wahhh….., kayaknya pelamun kita baru dapet rejeki nomplok nih!” goda Otong kemudian.
“Ah, lu Tong!” kata Tama yang kemudian mendorong Otong. Tapi karena ia mendorong terlalu keras, Otong kepleset dan jatuh ke kali. Untung nggak dalam kalinya. Cuma, baunya itu lho……
“Woy sialan! Kalo dorong kira-kira dong!” umpat Otong.
“Sorry Tong, hehehe….., itung-itung pembalasan buat kemaren. Dadah…..,” kemudian Utama berlari meninggalkan Otong yang masih kesusahan manjat ke atas bibir kali.
“Woy, jangan lari! Bantuin dong! Ma, Tama!!!!” teriak Otong memanggil-manggil nama Utama. Tapi yang dipanggil udah keburu melesat jauh.
Utama masih berlari-larian, berteriak-teriak, kadang ketawa, kadang nyubit-nyubit dan ngaplokin pipinya sendiri, dan berkata,
“Aku nggak mimpi, aku yakin aku nggak mimpi kali ini! Hahaha……,”
Lalu ia meneruskan larinya. Menuju rumahnya. Walaupun tingkah lakunya membuat orang-orang di sekitarnya mengira dia sudah gila, tapi ia mengabaikannya.
“EMAAAAK…..!!!!BAPAAAKKK….!!!!Tama tahu sekarang, Tama tahu!!!” serunya kemudian. Meskipun tidak ada emak dan bapaknya di situ.
Ya, Utama kini telah tahu. Siapa dia sebenarnya. Dan ia merasa sangat bahagia kala itu. Rupanya lamunannya telah mengantarnya menuju jalan yang lebih baik di depan matanya. Tak disangka!
Meski ini baru awal, awal untuk segalanya.


TAMAT

[+/-] Cekidot...

Minggu, 30 Januari 2011

Topi Perang Simbah

Di ruang kerjanya,ranjang,dia kembali sok sibuk.
Alasannya dikejar-kejar waktu,alasan ini itu,
padahal waktu sudah bosan dulu menghitung tingkahnya.

Kerjanya tidur, membuat liur
tampak jelas di bantalnya.
Mengenakan topi perang peninggalan simbah
yang sudah bolong di tengah.

Suatu hari ada pengemis yang meminta sedekah,
Ia berkata, “Nanti saja kalau aku sudah kaya,
pergi sana! Uang tetangga belum habis kuutangi,
kau sudah minta-minta,”
Pengemis tak mau kalah, “Topinya bagus mas, habis nyolong dimana?”
Habis berkata begitu si pengemis pun berlalu

Ia terdiam. Teringat wajah pengemis itu jadi teringat wajah simbahnya.
Lalu ia tidur dengan gelisah.
Ia teringat ketika simbah
ditemukan bersimbah darah dengan topi perangnya

24-01-11

[+/-] Cekidot...

Huruf-huruf Hujan

Hujan seperti bus antarpropinsi.
Mondar-mandir, pulang pergi.
Seperti aku yang masih gelisah menunggu
disini. Ditemani sepi yang kadang mengganggu

Hujan kian membelenggu suara.
Membuatku kini hanya bisa bicara a,i,u,e,o
seperti saatku baru bisa bicara

Dengan mereka kutitip salam untukmu:
Huruf a paling bisa bersuara, sampai telingapun
bisa rontok karenanya
Huruf i cuek saja, tak peduli, teman baik sepi
Huruf u yang setia menunggumu, yang sering
mengirim pesan rindu
Huruf e kabur entah kemana, setelah berhasil mencekik leherku
Huruf o adalah bulatan mataku, yang tercebur di kolam mimpimu

Hujan pergi meninggalkan sunyi di malam ini.
Menyisakan kata-kata yang tak semuanya
terangkum dalam sebuah puisi.
                              
24-01-11

[+/-] Cekidot...

Selamat Malam

Malam tenggelam di dalam kelam matamu
Sudah saatnya buka lembaran baru
Yang berlalu biarkanlah saja berlalu
Lenyapkan aku dalam perihmu

Andai ku dapat temukan sebuah kata
Supaya tidurmu makin sederhana
Malam ini ku nyanyikan sebuah lagu
Malam ini aku lelap di tidurmu

Tidurlah, tidur, kawanku sayang
Bawalah ku dalam hangat mimpimu
Hanya sekedar untuk mengatakan
Selamat malam kepadamu

Janganlah pergi sebelum kita bertemu
Sebelum kusempat menghapus dukamu
Jika sakitmu semua karenaku
Ceburkan aku dalam kolam tangismu

 22-01-11

[+/-] Cekidot...

Minggu, 23 Januari 2011

Gubuk Kecil di Tengah Ladang

Gubuk kecil di tengah ladang
tempat kau mencopot keringat
melepas lelah dan penat
menghimpun tenaga jelang pulang

Kemilau padi yang keemasan
kemilau waktu yang menyilaukan
Yang berasal dari keringatmu
Yang berasal dari kilau matamu

Gubuk kecil di tengah ladang
tempat harapan ditanamkan
dalam petak berisikan
jerih payahmu membanting tulang

Hidup ini kau isi
dengan memberi makan kami
Walau kau tak pernah
mengenyangkan perut sendiri

Gubuk kecil di tengah ladang
Tempat kau duduk dan menunggu
bulir-bulir keringatmu
tumbuh menjadi tabungan uang

Kemilau padi yang keemasan
Kemilau waktu yang menyilaukan
Semakin menyilaukan matamu
Semakin meredupkan hidupmu

11-01-11

[+/-] Cekidot...

Mimpi

Mimpi itu seru dan mengasyikan.
Seperti mengarungi lautan perasaan sendiri.
Jika mimpi berubah seram dan menakutkan,
maka cukup bangun dan bilang cuma mimpi.

Entah kenapa banyak orang lebih suka begadang
daripada mengarungi mimpi yang kadang
penuh misteri.
Paling senang kalau malam-malam begini
istirahat, melepas penat, mencopot keringat,
setelah seharian bertingkah kayak orang sekarat.

Walau mungkin bisa dibilang kurang kerjaan,
tapi aku ingin mengerjakannya.
Membuat kolase mimpiku tadi malam
Menempelkannya di sudut kenangan
Mengawetkannya di sengkarut ingatan.

Ingin kucari dan kutemukan sebuah kata
yang lebih sederhana dari sekadar ungkapan.
Supaya tidurmu makin sederhana
jauh dari remang redup kehidupan.

Di akhir ceritaku, aku hanya bisa mengatakan,
“Mimpi indah, izinkan aku mampir ke mimpimu.
Tak peduli walau hanya satu kedipan matamu
Supaya aku dapat luluh, lebur, menggelegak
dalam hamparan ombak mimpimu.”

(7 Jan ’11)

[+/-] Cekidot...

Yang Terlupakan dari Jalanan

Bangun pagi, berbekal kecrekan dan gitar kecil
yang kau buat sendiri dengan tanganmu yang mungil,
kau datang menjemput uang
yang tercecer di persimpangan jalan

Sorot lampu merah-kuning-hijau sudah seperti sorot matamu.
Saat kami tengah sumpek kegerahan melawan kemacetan,
kau berloncatan kegirangan berharap
ada yang mau membeli suaramu.

Jalanan adalah rumahmu.
Bagimu,hujan,panas,dingin,gerah,
adalah saudara.
Walau maut selalu mengintai langkah kecilmu.

Saat kami tengah merengek ingin membeli ini itu,
Kau rajut sendiri harapanmu tanpa ada yang mau membantu.
Saat kami tengah putus asa menangisi hidup ini,
Kau dengan riang gembira berlari, bernyanyi
tak peduli beban hidup yang senantiasa menghantui.

Kau mengajarkan kepada kami
bagaimana cara hidup dalam kehidupan
dan tidak takut dengan ketakutan

Tapi kami selalu menganggapmu sebagai debu jalanan.
Keberadaanmu jarang kami hiraukan
namun justru sering kami lupakan.

(5 Jan ’11)

[+/-] Cekidot...

Untuk: Kau

Hujan bukannya surut, malah makin besar saja
Halilintar makin ganas dan siap menyambar siapa saja
Udara yang tadinya ramah makin membuat gerah
Tapi aku tetap melangkah, tak mau mengalah
Karna ini adalah jalan. Jalan yang kutempuh
untuk menggapaimu.
Kau sudah terlalu lama menunggu.
Menungguku
Hatimu masih sepi saat pertama kali ku datang menemuimu
Senyummu sudah cukup menghangatkan tubuhku
yang habis dibasahkuyupkan hujan digilas waktu

Lihat, kita sudah sangat dekat
Namun kau dan aku sangat jauh terlewat
Sudah saatnya kata kau dan aku dihapuskan
Hingga hanya ada kita

Kita akan bersama
Sampai waktu bosan
menghitung hari, tanggal, dan bulan
Sampai kapanpun akan selalu bersama
Sampai kata tak mampu lagi bicara
Sampai airmata tinggal setetes saja
(25 Des ’10)

[+/-] Cekidot...

Jauh dan Dekat

Sudah dekat. Mengapa?
Mengapa begitu cepat?
Harum semerbak Januari masih terasa lekat
Tanggalan belum sempat
ditanggalkan dan diralat.

Sudah dekat. Mengapa?
Mengapa begitu cepat?
Mengapa saat-saat yang indah tanpa cacat
begitu cepat terlewat?
Mengapa saat-saat yang berkarat
masih terus teringat?

Lalu adakah sekat
antara jauh dan dekat?
Kau sangat jauh, tapi sangat dekat
Aku ingin tanya padamu, kalau sempat

Saat yang sudah dekat itu datang
Kemanakah kita pulang
dan kapan lagi kita mendengar
lolongan si binatang jalang?

(25 Des ’10)

[+/-] Cekidot...

Malam Tanpa Bulan

Waktu sudah pulang dari siang
Matahari pergi, senja makin meninggikan tirai malam
Suara jangkrik bersahut-sahutan
Suara kalong menyinggung keheningan

Saatnya ia berkemas, mengemasi
sebatang pensil dan pena, selembar kertas,
seikat gagasan, selaksa harapan,
tidak lupa sehampar panorama alam.
Lalu ia bergegas ke sebuah keheningan malam
Menepati janji dengan sang bulan.

“Malam ini langit cerah tak berawan.
Kau bisa berduaan dengan bulan.” kata
ramalan cuaca tadi pagi.
Tapi ramalan tak bisa dipercaya
dan mungkin ia tak bisa lagi percaya
Karna malam ini bulan yang ia tunggu tak kunjung datang
Bulan yang katanya sedang purnama dan terang benderang

Langit kian kelam, tapi tak sekelam hatinya
Sementara gerimis mengikis harapannya.

Maka saat itu ia ingin pulang
lewat jalan gelap sunyi berliku
hingga tak seorangpun mendengar jerit tangisnya.

(25 Desember 2010)

[+/-] Cekidot...

PETA DUNIA

 

Sasuke's Mangekyō Sharingan